Jakarta, Kompas
Penyebabnya, antara lain, adalah perjalanan dinas masih disalahgunakan sebagai kegiatan dan sarana pengumpulan dana taktis pegawai, misalnya untuk makan dan tambahan penghasilan pegawai.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hasan Bisri kepada Kompas, di Jakarta, Sabtu (12/5). Karena itu, ujar Hasan, Kepolisian Negara RI harus turun tangan dan tidak bisa menunggu laporan lagi.
”Sistem pengawasan internal kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah masih lemah sehingga polisi diimbau sudah harus menanganinya langsung meskipun sistem pengawasannya harus ditingkatkan,” kata Hasan.
Hasan menyatakan, langkah lain yang harus dibudayakan untuk mengurangi pemborosan anggaran yang berindikasi manipulasi adalah perlu dicoba adanya peniup peluit (whistle blower) di kalangan pegawai. Peniup peluit adalah orang yang menyingkapkan aib semisal di pegawai negeri.
”Namun, kalau biasanya satu ruangan di kementerian atau lembaga pemerintah itu, semuanya ikut-ikutan. Kalau ada yang berbeda, bisa dikucilkan atau dipindahkan ke bagian lain,” kata Hasan.
Menurut Hasan, modus pemborosan anggaran dengan indikasi manipulasi untuk pengumpulan dana taktis itu dilakukan dengan tiga cara, yaitu secara fiktif, nonfiktif, dan penggelembungan biaya (mark-up).
”Dengan modus seperti itu, perilaku pemborosan anggaran dekat sekali dengan praktik manipulatif anggaran yang ada selama ini. Tujuannya mengumpulkan dana taktis dan menambah penghasilan,” ujar Hasan.
Hasan mengatakan, modus pemborosan dengan cara fiktif dilakukan dengan cara memalsukan tiket pesawat dan kartu naik pesawat (boarding pass). Tiket dan kartu naik pesawat palsu diperoleh dari biro atau agen perjalanan.