”Nanti keramaian yang sama bisa terjadi di Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau Partai Persatuan Pembangunan pada waktunya,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, Sabtu (28/4), di Jakarta.
Selain menjadi yang pertama, kata Qodari, faktor lain yang mencuatkan dinamika pencalonan presiden di Partai Golkar adalah realitas bahwa ada sejumlah tokoh lama yang berminat menjadi calon presiden (capres). Meskipun Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar, masih ada tokoh lama yang punya pengikut.
Qodari membandingkan dengan Partai Amanat Nasional. Amien Rais masih menjadi tokoh lama yang dihormati, tetapi
”Keramaian” serupa sebenarnya juga ada di PDI-P. Ada kelompok pro-Mega yang menginginkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri diusung sebagai capres. Ada pula kelompok yang menginginkan calon lain. Namun, dinamika itu belum meninggi karena belum ada momentum penetapan calon.
Di Partai Demokrat, sejumlah tokoh juga sudah mulai berancang-ancang, tetapi belum berani mengeluarkan pernyataan resmi. ”Selain (juga) menunggu sinyal Yudhoyono yang lagi sibuk dengan berbagai masalah, seperti Nazaruddin dan Angie (Angelina Sondakh),” papar Qodari.
Menurut pengajar politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, dinamika di Partai Golkar terjadi karena Golkar pasca-Orde Baru mengalami polisentri kekuasaan. Artinya, terjadi penyebaran kekuasaan secara merata ke sejumlah tokoh, yang selanjutnya melahirkan pengubuan atau faksionalisasi.
Struktur polisentris itu menjadikan Partai Golkar dinamis secara internal karena persaingan antarfaksi untuk menguasai posisi struktural dan merebut posisi pengendali partai. Faksionalisasi itu sebenarnya mendorong demokratisasi internal partai untuk membuat mekanisme yang lebih adil bagi semua kubu.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Nurul Arifin menyebutkan, apa yang dihadapi Partai Golkar memperlihatkan Golkar sebagai partai terbuka dan modern yang menjadi harapan dan indikator. Golkar juga menjadi contoh bagi perkembangan partai di Indonesia.