Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dicekam Ketidakpastian

Kompas.com - 23/04/2012, 03:34 WIB

Berdasarkan analisis ini, harga minyak Brent tampaknya tidak bakal melonjak tak terkendali, misalnya sampai 147 dollar AS, seperti Juli 2008. Namun, juga mustahil turun di bawah 110 dollar AS karena produsen pasti tidak mau. Jika harga terlalu rendah, produsen akan segera memangkas produksi.

Dengan konfigurasi pasar seperti ini, pemerintah menjadi seperti ”terkena sandwich”. Di satu sisi, harga minyak dunia tak mencapai rata-rata 120,75 dollar AS sehingga harga BBM bersubsidi tidak boleh dinaikkan. Di sisi lain, harga juga tidak turun di bawah 110 dollar AS. Subsidi tetap membengkak.

Karena itu, pilihannya adalah pembatasan konsumsi untuk mobil dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc. Namun, pemerintah belum berani dengan alasan kesulitan teknis di lapangan. Dibandingkan dengan kebijakan pembatasan yang lain—misalnya pembatasan volume pasokan di Jakarta dan sekitarnya yang rawan keributan—pembatasan berdasarkan ukuran mesin ini relatif lebih logis. Petugas pompa bensin tinggal mengidentifikasi sebuah mobil memiliki berapa cc. Ini relatif mudah.

Urgensi pembatasan ini adalah demi asas keadilan. Saya tak sepakat dengan pendapat— termasuk Menteri BUMN Dahlan Iskan— bahwa adalah hak semua pemilik mobil, berapa pun cc-nya atau seberapa mewahnya, untuk mengonsumsi BBM bersubsidi karena itu tak diatur pemerintah. Justru itulah, maka tugas pemerintah adalah menghindari praktik ketidakadilan ini dengan menerbitkan regulasi. Kebijakan pembatasan cc mobil ini kira-kira senapas dengan kebijakan pajak progresif: semakin kaya, seseorang diwajibkan membayar pajak dengan persentase yang lebih besar.

Pembatasan konsumsi tak terlalu berdampak inflasi. Kalaupun menyebabkan inflasi, tidak akan lebih dari 1 persen, bahkan bisa di bawah 0,5 persen. Ini jauh di bawah potensi tambahan inflasi 2,4 persen jika harga BBM bersubsidi naik Rp 1.500 per liter. Angka 2,4 persen diperoleh dari pengalaman sebelumnya.

Ekspektasi inflasi menjadi salah satu hal yang menimbulkan ketidakpastian. Inflasi year on year akhir Maret 2012 adalah 3,97 persen. Namun, ketidakpastian harga BBM bersubsidi telah mendorong ekspektasi inflasi tahun ini minimal 6 persen. Karena itu, logis jika Bank Indonesia mempertahankan BI Rate 5,75 persen. Bahkan, kini BI mengkaji kemungkinan menaikkan giro wajib minimum (GWM) bank umum yang saat ini 8 persen. Kenaikan GWM diharapkan mengurangi jumlah uang beredar. Selanjutnya, memberi tekanan agar inflasi tak melonjak.

Namun, seiring dengan harga minyak yang mulai tertekan, akibat rasionalitas pasar yang mulai menurunkan permintaan, seiring dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia, tampaknya kenaikan GWM bukanlah prioritas saat ini. Inflasi tampaknya masih terkendali. Memang ada lonjakan harga pada beberapa produk menjelang 1 April karena ekspektasi kenaikan harga BBM bersubsidi, tetapi sejauh ini tidak masif dan bisa dikendalikan melalui operasi pasar.

Yang mendesak dipikirkan pemerintah adalah bagaimana agar Kementerian ESDM tetap aksentuatif dalam menghadapi publik dalam isu harga BBM pasca-kepergian Widjajono. Ini bisa tidak mudah.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com