Kegagalan Kartini meraih pendidikan tinggi adalah dampak kungkungan adat yang memaksanya masuk ke dalam dunia perkawinan poligami. Inilah salah satu isu yang terus-menerus masuk dalam agenda perjuangan gerakan perempuan sejak 1928, tetapi malah marak sekarang.
Pejabat publik bahkan tidak malu-malu lagi mempraktikkannya, termasuk melanggar UU Perkawinan soal perizinan. Saat ini UU Perkawinan sebagai hukum positif dikalahkan oleh aturan primordial yang bersifat parsial. Adanya dualisme hukum jelas menjadi penyulit dalam penegakan hak-hak kaum perempuan sebagaimana diperjuangkan Kartini.
Memperingati hari kelahiran Kartini, hari ini, justru membuat kita prihatin. Hal-hal yang dirisaukan Kartini ternyata masih kita temukan saat ini. Ia, misalnya, menggugat, ”Agama harus menjaga kita dari berbuat dosa. Akan tetapi, berapa banyak dosa diperbuat orang atas nama agama itu.” Seabad lalu, Kartini sudah mempertanyakan agama yang kini menjadi pembenaran oleh sebagian kaum laki-laki untuk menindas perempuan.