Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Kartini Kini

Kompas.com - 21/04/2012, 02:23 WIB

Kawin muda

Kartini memang tak mengalami kawin muda. Namun, pada zamannya budaya itulah yang ia gugat. Kini, setelah lebih dari 100 tahun, persoalan ternyata belum juga berhasil dihapus meski di tingkat legal formal sudah selesai.

Hasil penelitian PP Aisyiyah di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, membuktikan mengapa praktik kawin muda perlu diwaspadai. Dalam penelitian tentang remaja dan seksualitas mereka yang baru saja selesai ini, disebarkan 717 angket ke sejumlah sekolah di Bantul kepada murid-murid yang berusia 14-21 tahun. Hasil survei sejalan dengan kesimpulan diskusi kelompok terbatas (FGD) yang menunjukkan rendahnya pengetahuan remaja tentang tubuh dan seksualitas mereka. Hal ini tentu saja berkorelasi dengan tingginya perkawinan di bawah umur.

Penelitian itu mencatat bahwa banyak remaja percaya pada mitos-mitos reproduksi, terutama soal menstruasi, penyebab kehamilan, dan cara-cara pencegahan kehamilan. Di Kecamatan Dlingo, sebagian besar peserta FGD belum pernah mendapatkan informasi secara formal tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan mereka peroleh dari teman-teman sebaya dan internet. Di Kecamatan Banguntapan, Dlingo, dan Kasihan tampak adanya praktik perkawinan usia dini yang cukup tinggi dan kehamilan di bawah usia 20 tahun.

Data itu dapat dibaca dari banyaknya permohonan untuk mendapatkan dispensasi pernikahan yang diputus Pengadilan Agama Kabupaten Bantul. Dispensasi diperlukan karena perkawinan usia dini pada dasarnya melanggar batas usia kawin sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan.

Penelitian Aisyiyah menunjukkan bahwa pada 2000 permohonan dispensasi pernikahan hanya ada 10 perkara. Namun, pada 2010 angka tersebut meningkat menjadi 115 perkara. Meskipun hal ini bisa diartikan munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya dokumentasi perkawinan, secara faktual data itu menunjukkan tingginya angka perkawinan di bawah umur.

Dari FGD dengan kelompok remaja di Kecamatan Kasihan dan Dlingo, tercatat bahwa praktik kawin usia dini umumnya didorong oleh keinginan meringankan beban ekonomi orangtua, takut dianggap perawan tua, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Alasan terakhir itu bahkan menjadi faktor paling menonjol penyebab pernikahan usia dini. Maka, penelitian ini menggarisbawahi bahwa kehamilan tak dikehendaki terkait dengan rendahnya pengetahuan mereka dan orangtuanya tentang kesehatan reproduksi.

Salah satu risiko perkawinan dan kehamilan pada usia dini adalah angka kematian ibu melahirkan (AKI). Seabad lalu, Kartini meninggal pasca-melahirkan. Maka, ia masuk kategori penyumbang AKI.

Indonesia hingga kini masih terus berkutat dengan AKI. BKKBN mengeluarkan angka AKI yang masih 228/100.000 kelahiran hidup, yang masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.

Banyak hal yang dapat didaftar sebagai penyebab situasi itu. Namun, yang paling utama adalah pada ketidakpekaan dan ketidakberpihakan para pengambil kebijakan sejak adanya otonomi daerah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com