Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Risiko Ambang Batas Nasional

Kompas.com - 16/03/2012, 08:32 WIB

Oleh Syamsuddin Haris

KOMPAS.com - Empat masalah krusial rancangan undang-undang pemilihan umum belum tuntas, panitia perumus sudah menambah persoalan baru: menyeragamkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold bagi DPR dan DPRD.

Perolehan suara parpol secara nasional menjadi dasar menghitung kursi DPRD (Kompas, 13/3). Mengapa DPR tidak menghitung risikonya?

Menjelang berakhirnya tenggat penyelesaian RUU Pemilu, sembilan partai politik di DPR hingga saat ini belum sepakat soal besaran persentase ambang batas DPR, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu, dan mekanisme penghitungan suara.

Dalam soal ambang batas DPR, Partai Golkar dan PDI-P bertahan pada angka 5 persen, Partai Demokrat 4 persen, PKS 3-4 persen. PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura berharap tidak naik (dari 2,5 persen). Kalaupun dinaikkan, tak lebih dari 3 persen.

Terkait daerah pemilihan (dapil), pilihan besaran berkisar 3-6 kursi (usulan Golkar), 3-8 (Demokrat), atau tetap 3-10 seperti hendak dipertahankan parpol kecil. Sistem pemilu masih mempersoalkan apakah proporsional terbuka, tertutup, atau semiterbuka, sedangkan mekanisme penghitungan suara sudah ada tanda-tanda kesepakatan, yakni dituntaskan di dapil, tidak perlu ditarik ke tingkat nasional seperti Pemilu 2009.

Fragmentasi politik lokal

Hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009 memperlihatkan begitu tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Fragmentasi terjadi karena semua parpol yang memperoleh kursi berhak duduk di DPRD, termasuk parpol-parpol ”gurem” yang meraih satu-dua kursi Dewan. Akibatnya, seperti hasil Pemilu 2009, DPRD kabupaten/kota berisi belasan parpol. Di DPRD Provinsi NTT, misalnya, jumlah anggota 55 orang dari 18 parpol yang memperoleh kursi. Sebelas parpol masing-masing hanya meraih satu kursi.

Fragmentasi politik lokal yang ekstrem tersebut berdampak pada berkembangnya kecenderungan politik dagang sapi di DPRD sehingga pemerintah daerah acap kali harus menegosiasikan berbagai kebijakan daerah dengan kepentingan parpol yang amat beragam. Persoalan semakin kompleks ketika kepala daerah terpilih hanya mewakili minoritas koalisi politik di DPRD. Akibatnya, pemerintah daerah tidak hanya sulit bekerja maksimal, tetapi juga terpenjara oleh struktur politik hasil pemilihan itu.

Realitas politik lokal seperti ini memerlukan penyederhanaan. Semakin banyak parpol di DPRD semakin kecil pula peluang terbentuknya pemerintahan lokal yang bisa bekerja efektif. Maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan APBD yang melibatkan anggota DPRD adalah sebagian produk dari perangkap kolusi dan persekongkolan politik akibat fragmentasi politik lokal yang ekstrem ini. Perlu diberlakukan ambang batas parlemen bagi DPRD agar struktur politik lokal lebih sederhana.

Ambang batas parlemen

Walaupun demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen yang seragam secara nasional bukanlah solusi tepat. Rekayasa institusional demikian justru keliru dan salah kaprah. Lanskap politik nasional bukan saja tidak persis sama, melainkan justru sangat berbeda dengan lanskap politik di 33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten dan kota. Parpol yang berjaya di DPR belum tentu memperoleh kursi di DPRD. Sebaliknya parpol yang gagal memenuhi ambang batas DPR tidak sedikit yang meraih suara signifikan di daerah. Bahkan, parpol pemenang pemilu DPRD-DPRD di kabupaten dan kota berbeda-beda satu sama lain kendati di provinsi yang sama.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tak Persoalkan Anies dan Sudirman Said Ingin Maju Pilkada Jakarta, Refly Harun: Kompetisinya Sehat

    Tak Persoalkan Anies dan Sudirman Said Ingin Maju Pilkada Jakarta, Refly Harun: Kompetisinya Sehat

    Nasional
    Peringati Hari Lahir Pancasila, AHY: Pancasila Harus Diterapkan dalam Kehidupan Bernegara

    Peringati Hari Lahir Pancasila, AHY: Pancasila Harus Diterapkan dalam Kehidupan Bernegara

    Nasional
    Prabowo Sebut Diperintah Jokowi untuk Bantu Evakuasi Warga Gaza

    Prabowo Sebut Diperintah Jokowi untuk Bantu Evakuasi Warga Gaza

    Nasional
    Simpul Relawan Dorong Anies Baswedan Maju Pilkada Jakarta 2024

    Simpul Relawan Dorong Anies Baswedan Maju Pilkada Jakarta 2024

    Nasional
    Pemerintah Klaim Dewan Media Sosial Bisa Jadi Forum Literasi Digital

    Pemerintah Klaim Dewan Media Sosial Bisa Jadi Forum Literasi Digital

    Nasional
    Prabowo Kembali Serukan Gencatan Senjata untuk Selesaikan Konflik di Gaza

    Prabowo Kembali Serukan Gencatan Senjata untuk Selesaikan Konflik di Gaza

    Nasional
    Kloter Terakhir Jemaah Haji Indonesia di Madinah Berangkat ke Mekkah

    Kloter Terakhir Jemaah Haji Indonesia di Madinah Berangkat ke Mekkah

    Nasional
    PKB Beri Rekomendasi Willem Wandik Maju Pilkada Papua Tengah

    PKB Beri Rekomendasi Willem Wandik Maju Pilkada Papua Tengah

    Nasional
    Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

    Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

    Nasional
    Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

    Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

    Nasional
    Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

    Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

    Nasional
    Mendag Apresiasi Gerak Cepat Pertamina Patra Niaga Awasi Pengisian LPG 

    Mendag Apresiasi Gerak Cepat Pertamina Patra Niaga Awasi Pengisian LPG 

    Nasional
    Menaker: Pancasila Jadi Bintang Penuntun Indonesia di Era Globalisasi

    Menaker: Pancasila Jadi Bintang Penuntun Indonesia di Era Globalisasi

    Nasional
    Momen Jokowi 'Nge-Vlog' Pakai Baju Adat Jelang Upacara di Riau

    Momen Jokowi "Nge-Vlog" Pakai Baju Adat Jelang Upacara di Riau

    Nasional
    Refleksi Hari Pancasila, Mahfud Harap Semua Pemimpin Tiru Bung Karno yang Mau Berkorban untuk Rakyat

    Refleksi Hari Pancasila, Mahfud Harap Semua Pemimpin Tiru Bung Karno yang Mau Berkorban untuk Rakyat

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com