Negara tidak boleh melupakan aneka kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum selesai pertanggungjawabannya di hadapan hukum. Lewat diam, mereka meminta negara untuk menuntaskan "dosa-dosa" masa lalu itu. Biasanya setelah satu jam mereka membubarkan diri dan kembali lagi hari Kamis pekan berikutnya.
Payung hitam dipilih sebagai simbol perlindungan dan keteguhan cinta dan iman mereka untuk perjuangan HAM. "Payung itu lambang perlindungan ilahi. Jika negara tidak melindungi kami rakyatnya, kami percaya Tuhan masih tetap melindungi kami," ujar Sumarsih.
Hari ini, Kamis (15/3/2012), adalah hari Kamis ke-250 mereka berdiri dalam diam menunggu empati negara sejak aksi pertama digelar pada 18 Januari 2007. Sore nanti, pukul 16.00, mereka akan genap berdiri di sana untuk ke-250 kali. Sudah lima tahun.
Konsisten
Selama lima tahun, mereka konsisten datang ke tempat itu pada hari dan jam yang sama. Panas terik dan hujan badai hari itu tidak pernah membuat mereka absen. Tahun lalu, Sumarsih bercerita, mereka pernah berdiri di bawah guyuran hujan deras dan angin kencang.
"Hujan badai, tetapi kami bertahan. Ini hanya hujan badai," kata dia.
Sumarsih dan kawan-kawan juga pernah berhadapan dengan polisi yang memaksa mereka membubarkan diri. Alasannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kedatangan tamu negara. Ia menduga Presiden mungkin malu oleh kehadiran keluarga dan korban pelanggaran HAM ini.
"Pernah kami saling dorong dengan petugas sampai payung kami rusak. Saya sampai bertanya, apa Presiden malu kami ada di depan istana," katanya.
Selama 249 kali berdiri diam dan menenteng payung hitam serta spanduk, pernahkah Presiden melirik kearah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM ini?
Sumarsih mengaku tak tahu. Menurutnya, Presiden selalu lewat dengan dengan kaca jendela mobil tertutup rapat. Kaca mobil yang gelap membuat mereka tak dapat melihat apakah Presiden pernah memalingkan wajah untuk melihat belasan hingga puluhan payung hitam yang sengaja diangkat tinggi ketika ia lewat.
"Kalau Pak Presiden lewat, petugas biasanya langsung berbaris menutupi kami. Kami hanya bisa mengangkat payung tinggi-tinggi. Jadi, kami tidak tahu beliau melihat kami atau tidak. Saat 26 Maret 2008 lalu, ketika kami bertemu Presiden, saya mengatakan kami berdiri dengan payung hitam di depan istana, apakah bapak pernah melihat kehadiran kami? Presiden hanya manggut-manggut. Jadi, mungkin maksudnya dia melihat kami," ujarnya.
Lalu, sampai kapan Kamisan ini digelar? "Kami pernah sepakat, Kamisan akan berakhir kalau kami tinggal tiga orang, tetapi sejauh ini enggak pernah sampai tiga. Pernah 200-an orang, penah juga hanya sembilan orang. Kami baru akan berhenti kalau Presiden membuat Pengadilan HAM untuk kasus pelanggaran HAM. Sederhana, kan, permintaan kami," ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.