Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dhana, Saya, dan Mafia Pajak

Kompas.com - 08/03/2012, 02:02 WIB

Ada lima penyebab mengapa mafia pajak masih eksis. Pertama, kekuasaan besar. Lingkup kekuasaan DJP tak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita aset wajib pajak (WP), memblokir rekening bank, menyidik tindak pidana pajak, minta pencekalan WP hingga menahan WP (penyanderaan). Ungkapan ”kekuasaan cenderung korup” berlaku mutlak.

Kedua, banyaknya hubungan kekerabatan antarsesama karyawan di DJP. Ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong persekongkolan, dan persekongkolan sulit dideteksi. Ketiga, lemahnya pengawasan internal di DJP. Kasus Gayus jadi bukti. Jangankan investigasi, DJP baru menskors Gayus setelah kasus mencuat di media massa. Padahal, sesuai Pasal 2 PP 4/1966 tentang pemberhentian sementara PNS, Gayus seharusnya diskors sejak jadi tersangka dalam kasus pertama saat dia pernah divonis bebas.

Keempat, rendahnya target pajak. Dalam RAPBN 2012 rasio pajak ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-20 persen. Kelima, adanya wilayah abu-abu. Sesuai Pasal 23A UUD 1945, semua pajak dan pungutan lain yang bersifat memak- sa untuk keperluan negara harus diatur dengan UU. Namun, dalam UU Pajak, selain obyek pajak, yang bukan obyek pajak pun ditentukan. Asal tahu saja, transaksi di luar obyek dan non-obyek adalah wilayah abu-abu yang berpotensi jadi sumber korupsi. Apalagi, ada seloroh bahwa UU Pajak Indonesia merupakan UU perpajakan paling tipis di dunia.

Modus korupsi

Sebelum reformasi, kantor pajak tak hanya dianggap sebagai sarang koruptor, tetapi juga dianggap momok oleh masyarakat. Ini karena WP kerap diperas oleh aparatur pajak, misalnya dalam pemeriksaan atau pengurusan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi. WP ditakut-takuti dengan ”perhitungan” pajak yang tak masuk akal. Masalah ini cukup teratasi sebab setelah reformasi birokrasi, diadakan jabatan account representative (AR), mirip konsultan pajak, yang bertugas membantu WP. WP tak usah pusing berurusan dengan banyak pihak di kantor pajak. Cukup dengan AR.

Target penerimaan pajak setiap kantor pajak dibagi kepada setiap AR. Maka, AR jadi tulang punggung kantor pajak hingga dijuluki ”ahli rekoso”. DJP pun memberi wewenang besar kepada AR, mulai dari meneliti laporan pajak, konseling, kunjungan kerja ke WP, hingga mengusulkan pemeriksaan khusus.

Akses besar kepada WP, sistem TI DJP yang canggih, dan pasok- an data keuangan dari banyak instansi membuat AR mudah mendeteksi jika ada laporan pajak yang tak benar. Apakah AR meminta WP membetulkan laporan atau AR justru membantu WP ”membetulkan” laporan pajak untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak dengan memanfaatkan celah aturan yang ada atau memanipulasi laporan keuangan WP sehingga laporan pajak seolah telah benar lalu AR dapat imbalan, itu perkara lain.

Dengan budaya korupsi yang masih kental, kemungkinan AR melakukan penyimpangan sangat besar. Apalagi, jika AR dibe- bani target pajak yang rendah. Godaan kian besar bagi AR ketika menangani WP besar yang membayar pajak triliunan rupiah. Dengan mudah AR meraup puluhan miliar dengan menawarkan jasa utak-atik laporan pajak. Apakah Dhana juga mempraktikkan ini mengingat dia pernah jadi AR di KPP WP Besar? Pengadilanlah yang membuktikan ini semua.

Kalaupun ternyata AR tak melakukan penyimpangan dan mengusulkan WP diperiksa, peluang korupsi masih ada. Dalam pemeriksaan, bahkan hingga penyi- dikan, bisa terjadi negosiasi antara WP dan pemeriksa/penyidik pajak. Praktik ini sudah terjadi sebelum reformasi birokrasi.

Peluang negosiasi terhambat jika AR berani menghambat. Namun, toh, jalan untuk menilep pajak masih ada jika WP mengajukan keberatan. Negosiasi dengan penelaah keberatan (PK) bisa terjadi. Negosiasi bisa berlanjut bila WP mengajukan banding atas putusan keberatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com