Demikian salah satu hasil rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu DPR dan pemerintah pada Selasa (28/2) malam, seperti disampaikan salah satu anggotanya, Nurul Arifin, Rabu.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan, penghitungan suara habis di dapil dinilai lebih adil dibandingkan dengan model penghitungan suara yang dihabiskan di provinsi. Selain itu, keterwakilan menjadi lebih jelas.
”Kalau dulu (Pemilu 2009) suara ditarik ke provinsi, kan, tidak jelas aleg (anggota legislatif) mewakili provinsi atau dapil. Dengan model penghitungan suara habis di dapil, keterwakilan lebih jelas, tiap-tiap aleg akan mewakili dapilnya,” ujarnya.
Namun, Panja belum menyepakati metode untuk mengonversi suara menjadi kursi. Anggota Panja RUU Pemilu dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Agoes Poernomo, mengatakan, ada tiga metode yang diusulkan, yaitu
sistem kuota, divisor varian Webster, dan divisor D’Hondt. Panja menyerahkan pembahasan ini di tingkat Panitia Khusus RUU Pemilu.
Panja juga belum menyepakati materi alokasi kursi DPR dan DPRD per dapil. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan alokasi kursi DPR tetap 3-10 per dapil dan 3-12 kursi per dapil untuk DPRD.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengusulkan alokasi 3-8 kursi per dapil untuk DPR dan 3-10 kursi per dapil untuk DPRD. Fraksi Partai Golkar mengusulkan alokasi kursi 3-6 per dapil berlaku nasional. Fraksi Partai Demokrat, yang awalnya mengusulkan alokasi 3-8 kursi per dapil untuk DPR dan 3-10 kursi per dapil untuk DPRD, berubah sikap. Fraksi Partai Demokrat akhirnya mengikuti keinginan partai kecil-menengah, yakni alokasi kursi DPR sebanyak 3-10 per dapil dan 3-12 kursi per dapil untuk DPRD.
Pembahasan RUU Pemilu yang lama mengindikasikan lemahnya institusi dan sistem internal partai politik. Figur dengan karisma personal atau ”karisma dinasti” menjadi penentu, menjadikan parlemen tidak lebih sekadar perpanjangan tangan elite oligarki atau ”gerbong politik” pengendali partai.
”Kalau lebih disederhanakan lagi, (parlemen) perpanjangan tangan SBY, Megawati, atau Aburizal, atau paling tidak ’elite oligarki’ atau ’gerbong politik’ pengendali partai,” kata peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR.
Dia mengatakan, perdebatan menyangkut materi krusial RUU Pemilu terlihat sekali tidak dilandasi semangat pembenahan komprehensif, tetapi lebih pada kepentingan masing-masing parpol di Pemilu 2014.