”Kami sudah sampaikan kepada pimpinan (DPR) mengenai usulan pembentukan tim,” kata Ketua Komisi II DPR Agun
Komisi II mengusulkan pembentukan tim tersebut karena banyak sengketa serta konflik pertanahan yang tak kunjung terselesaikan. Pertimbangan lain adalah lantaran rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Sengketa dan Konflik Pertanahan tak pernah dituntaskan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Selain itu, hasil penelusuran Komisi II, tidak sedikit sengketa atau konflik lahan yang berkaitan dengan tentara, Kementerian Kehutanan, pertambangan, pemerintah daerah, dan juga pihak swasta. Oleh karena itu, menurut Agun, sengketa pertanahan dan konflik agraria tidak bisa hanya diselesaikan Komisi II. ”Ini juga terkait dengan mitra kerja serta bidang komisi lain,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut anggota Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), A Malik Haramain, tim akan melibatkan sejumlah komisi, seperti Komisi I, II, III, IV, V, dan VII.
Pembentukan tim khusus tersebut diusulkan agar penyelesaian sengketa pertanahan bisa lebih efektif. Pasalnya, tim melibatkan banyak komisi sehingga bisa memanggil seluruh pihak yang terkait dengan kasus-kasus sengketa pertanahan.
Tim juga bertugas mengkaji kebijakan pertanahan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lebih jauh, tim juga dapat merekomendasikan pembentukan badan khusus yang memiliki otoritas menuntaskan sengketa pertanahan dan konflik agraria. Badan khusus itu pula yang bertugas mengevaluasi kebijakan atau undang-undang yang kontradiktif dengan semangat UUPA.
Secara terpisah, pimpinan Panja Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan Komisi II, Hakam Naja, mengatakan, pihaknya sudah ke Mesuji, Lampung, dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Panja merekomendasikan perusahaan perkebunan, yakni PT Barat Selatan Makmur Investindo, menyediakan lahan plasma seluas 7.000 hektar untuk penduduk. Setiap penduduk direkomendasikan diberi lahan plasma seluas 2 hektar.
Menurut pengamat kehutanan Transtoto Handadhari, konflik yang terjadi terjadi antara masyarakat dan pengusaha di sektor kehutanan dapat diselesaikan dengan pembenahan aturan dan regulasi pemerintah di tingkat hulu.
”Harus didorong kebijakan tata guna dan kelola lahan yang jelas agar tidak terjadi konflik. Hal itu penting agar ada kepastian bagi pengusaha. Sering terjadi, izin dikeluarkan, tetapi masyarakat sudah ada dan beraktivitas di lokasi,” katanya secara terpisah.