KOMPAS.com- Deretan bangkai tank raksasa (Main Battle Tank-MBT) menjadi besi tua adalah pemandangan tragis medan tempur modern pada Perang Arab-Israel dalam Perang Enam Hari (1967) dan Perang Yom Kippur (1973) hingga serangan Amerika-Sekutu terhadap Irak pada Perang Teluk I (Agustus 1990-Februari 1991) dan Perang Teluk II (Maret-Mei 2003).
Tank-tank raksasa itu dibantai tanpa pernah terlibat pertempuran melawan tank seperti di masa silam! Tank-tank raksasa milik Mesir dan Irak sekelas Tank Leopard yang diincar TNI AD tersebut dihancurkan karena mereka tidak memiliki perlindungan, yakni payung udara.
Perlindungan memadai dari satuan pesawat udara berupa jet tempur, helikopter tempur, artileri pertahanan udara (Arhanud) adalah syarat utama bagi sebuah negara sebelum memiliki tank raksasa atau tank tempur utama (MBT). Selain itu diperlukan jalan raya kualitas tinggi yang mampu menahan beban di atas 100 ton berat kendaraan.
Sebuah tank berat memiliki bobot di atas 60 ton dan mereka harus diangkut trailer pengangkut yang memiliki bobot di atas 20 ton.
Direktur Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) Anton Ali Abbas yang ditemui di Imparsial menerangkan, jalanan di Ibukota Jakarta yang konon terbaik di Indonesia pun selalu rusak saat dilintasi tank-tank terberat Marinir TNI AL yang bobotnya sekitar 20-an ton. Belum lagi kondisi alam sangat menentukan sebuah MBT bisa digunakan secara efektif atau tidak.
Pengamat militer Andi Widjoyanto yang dihubungi, Selasa (31/1) lalu mengakui, pertempuran besar terakhir yang melibatkan perang sesama MBT terjadi semasa Perang Dunia II di Kursk (450 kilometer selatan Moskow). Ketika itu, 2.928 tank Jerman berhadapan dengan 5.128 tank Uni Soviet. Satuan tank tersebut di pihak Jerman Nazi didukung 2.110 pesawat, 9.966 meriam dan mortir, 780.900 prajurit. Sedangkan di pihak Uni Soviet, didukung 2.792 pesawat, 25.013 meriam dan mortir, serta 1.910.361 prajurit.
Pertempuran terjadi dalam dua babak, yakni serangan Jerman pada tanggal 5-16 Juli 1943 dan serangan balik Uni Soviet tanggal 12 Juli hingga 23 Agustus 1943. Akhirnya Jerman dikalahkan Uni Soviet.
Andi Widjoyanto menjelaskan, itulah kali terakhir terjadi perang besar tank melawan tank di medan benua daratan. Sejarah belum pernah mencatat terjadi perang tank melawan tank di negara kepulauan. Ada pun tank yang digunakan militer Jepang di bawah pimpinan Jenderal Tomoyoki Yamashita dalam serangan ke Malaya dan Singapura pada tahun 1941-1942 adalah tank ringan yang mampu melintasi jalan raya biasa dan hutan tropis.
Mencegat di Laut
Anton Ali Abbas yang juga alumni Universitas Pertahanan (Unhan) menerangkan lebih lanjut bahwa Indonesia tidak memiliki doktrin agresi, sehingga yang diperlukan adalah kemampuan mencegat musuh (intercept) tidak sampai masuk ke daratan di Indonesia.
"Untuk itu diperlukan kekuatan laut dan udara yang terpadu untuk mencegah jangan sampai musuh masuk ke Indonesia. Kalau hanya memperkuat militer di daratan berarti membiarkan musuh masuk terlebih dahulu baru digempur. Itu logika yang terbalik dan tidak dapat dinalar," ujar Anton.
Sedangkan Direktur Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim yang juga ditemui di Imparsial mengingatkan, seharusnya TNI AD berkonsentrasi dalam upaya membentuk serdadu yang memiliki mental baik sebagai tentara rakyat yang dibiayai pembayar pajak dan kesejahteraannya diperhatikan sebelum berbicara membeli persenjataan dengan nilai trilyunan rupiah.
"Lebih baik membentuk mental prajurit yang kompatibel dengan negara demokrasi modern seperti Indonesia. Tanpa itu kemungkinan besar persenjataan seperti tank yang sulit digelar karena rendahnya kualitas jalan raya di Indonesia justru akan digunakan terhadap rakyat Indonesia," ujar Mufti.
Secara singkat, rencana pembelian satu divisi Tank Leopard dari Kerajaan Belanda yang sedang mengalami krisis keuangan tidak bisa dinalar sama sekali, karena kekuatan laut dan payung udara (TNI AU) serta kualitas jalan di Indonesia masih sangat rendah. Lagipula Indonesia tidak memiliki doktrin agresi terhadap negara sekitar.
Di lain pihak, negara pemilik Tank Tempur Utama seperti Singapura dan Malaysia memiliki jalan raya dengnan kualitas baik tetapi tidak menggelar arsenal mereka di dekat perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kalau pun pecah perang, sangat sulit bagi tank Challenger milik Singapura yang berbasis di Brunei untuk bergerak di jalanan Kalimantan wilayah Indonesia yang kualitasnya sangat buruk dan berlumpur!
Mungkin selembar foto bersejarah tentang seorang warga Tiongkok berdiri menghadang sebuah MBT milik Tentara Pembebasan Rakyat di Lapangan Tian An Men Tahun 1989 bisa mengingatkan para jenderal TNI dan masyarakat tentang senjata yang digunakan terhadap rakyat dan tidak pernah berperang melawan musuh dari luar...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.