JAKARTA, KOMPAS.com - Pejabat Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Ridwan Sanjaya, dituntut hukuman delapan tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Ridwan dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 2009. Tuntutan tersebut dibacakan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (7/2/2012).
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa perkara ini memutuskan, Ridwan Sanjaya sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP, dalam dakwaan primer," kata jaksa KMS Roni.
Ridwan dianggap terbukti menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen dengan melakukan penunjukkan langsung terhadap 28 perusahaan sebagai rekanan pengadaan SHS. Akibatnya, negara mengalami kerugian sekitar Rp 131,2 miliar. Ridwan juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 13,1 miliar. Uang tersebut harus dipenuhi sebulan setelah putusan pidana ini berkekuatan hukum tetap. Jika tidak mampu membayar, harta benda Ridwan akan disita. Apabila hartanya tidak mencukupi, Ridwan harus menggantinya dengan pidana kurungan selama tiga tahun.
Adapun hal-hal yang dianggap memberatkan tuntutan ini, perbuatan Ridwan tersebut dilakukannya saat negara tengah giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi. Sementara yang meringankan, Ridwan berlaku sopan dalam persidangan, masih memiliki tanggungan keluarga, dan telah mengembalikan sebagian uang kerugian negara ke KPK.
Menurut jaksa, Ridwan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) bersama-sama dengan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Jacobus Purnowo, melakukan tindak pidana korupsi dengan mengarahkan panitia pengadaan proyek SHS untuk memenangkan 28 perusahaan sebagai rekanan. Dari upaya tersebut, Ridwan menerima Rp 14,6 miliar, sementara Jacobus mendapat Rp 1 miliar.
"Padahal, 28 perusahaan tersebut tidak sanggup melaksanakan proyek tersebut. Ini terbukti dengan adanya pengerjaan secara subkontrak oleh 28 perusahaan yang ditunjuk terdakwa (Ridwan) dan Jacobus," kata jaksa Roni. Perbuatan keduanya ini dianggap melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa.
Pada April 2009, dalam rapat yang membahas harga perkiraan sendiri (HPS), Ridwan mengarahkan panitia untuk menyusun harga sesuai yang dia tetapkan. Sambil menyerahkan kertas tulisan tangan yang berisi daftar nama 28 perusahaan ke Budianto Hari Purnomo (ketua panitia pengadaan), Ridwan meminta agar perusahaan-perusahaan itu dimenangkan. "PT-PT ini tolong dibantu dimenangkan," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut merupakan titipan DPR. "Karena merupakan titipan DPR dengan tujuan untuk membantu mengegolkan RUU Ketenagalistrikan, titipan dari kejaksaan, dan titipan dari kepolisian," kata jaksa Roni menirukan perkataan Ridwan saat itu.
Atas tuntutan jaksa ini, Ridwan akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan yang dibacakan pada pekan depan. Proyek SHS ini diduga juga melibatkan anggota DPR. Tiga perusahaan titipan DPR yang termuat dalam tuntutan Ridwan itu adalah PT Ridho Teknik (untuk proyek SHS di Aceh), PT Paesa Pas Indo (SHS paket Sumatera Selatan dan Bengkulu), dan PT Berdikari Utama Jaya (paket Sumatera Barat). Nama anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana diduga terlibat dalam kasus ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.