Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Diminta Pelajari Eksaminasi Dudhie Makmun Murod

Kompas.com - 27/01/2012, 20:39 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch memberikan sejumlah rekomendasi hasil pengujian terhadap putusan sidang Politisi PDI Perjuangan Dudhie Makmun Murod yang dianggap janggal secara hukum.

Dudhie adalah terpidana dalam kasus suap cek perjalanan untuk pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Ia disidang pada Maret 2010 lalu. Kejanggalan ini diantaranya putusan jaksa penuntut umum yang dinilai tidak optimal dan cermat.

"JPU hanya menjerat dengan pasal 5 ayat 2 dan ayat 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang hanya bisa menjerat dengan 5 tahun penjara. Padahal harusnya bisa dengan pasal 12 huruf b dalam undang-undang itu dengan hukuman maksimal 20 tahun," jelas Aktivis ICW, Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (27/1/2012).

Pasal yang tampak lemah ini, kata Febri, tidak bisa membuat para koruptor selain dalam kasus suap cek perjalanan ini jera. Kejanggalan lain, menurutnya, adalah hakim yang mengabaikan fakta. "Kasus ini terlihat hanya sampai pada penerima, karena diabaikan alur pemesanan cek perjalanan dan kesaksian tentang pembelian lahan sawit serta penyerahan pada Ferry Yen," terangnya.

Hakim juga, kata dia, tidak menggali dari sejumlah saksi, di mana pengiriman dana untuk para penerima suap cek perjalanan itu. "Tidak digali lebih jauh, apakah rekening terdakwa yang digunakan untuk menerima dana adalah rekening pribadi atau rekenin fraksi," sambungnya.

Selain itu, kata dia, pertimbangan meringankan dari hakim yang menyebut Dudhie memiliki anak tidak sesuai. Seharusnya sebagai penyelenggara negara ia mendapat pertimbangan memberatkan karena menerima suap tersebut dan membaginya.

"Hakim memberikan pertimbangan seperti itu, padahal seharusnya dia mendapat pertimbangan memberatkan karena sebagai penyelenggara negara dan bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi."

Terakhir, ia meminta KPK perlu melakukan evaluasi terhadap penyidik dan jaksa dalam kasus cek pelawat. Hakim dalam sidang pengadilan tipikor juga diharapkan mematuhi ketentuan KUHAP seperti pemeriksaan saksi yang tidak bersamaan agar tidak saling mempengaruhi. "Hakim juga harus berperan aktif untuk menggali fakta persidangan dalam kasus ini," pungkasnya.

Seperti yang diketahui, Dudhie terseret dalam kasus ini karena ia terbukti menerima cek pelawat senilai Rp 9,8 miliar dan membagikannya kepada sejumlah anggota partai. Keterlibatannya berawal pada Mei 2004 saat Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI melakukan uji kepatutan dan kelayakan tiga calon Deputi Gubernur Senior, yaitu Miranda, Hartadi A Sarwono, dan Budi Rochadi.

Dalam rapat Fraksi PDIP, Ketua Fraksi Tjahjo Kumolo menyampaikan partai memutuskan mencalonkan dan mendukung Miranda. Setelah Miranda menang sejumlah cek perjalanan mengalir sebagai hadiah untuk 15 anggota dewan di komisi tersebut. Dudhie sendiri mendapat jatah Rp 500 juta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

    Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

    Nasional
    Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

    Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

    Nasional
    Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

    Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

    Nasional
    Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

    Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

    Nasional
    Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

    Nasional
    Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

    Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

    Nasional
    Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

    Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

    Nasional
    Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

    Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

    Nasional
    Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

    Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

    Nasional
    SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

    SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

    Nasional
    'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

    "Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

    Nasional
    Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

    Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

    Nasional
    Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

    Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

    Nasional
    Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

    Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

    Nasional
    Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

    Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com