Oleh
Setelah beberapa kali pemerintah gagal membangun proyek mobil nasional—seperti Timor, Maleo, Kancil, dan Gea—kali ini antusiasme menyembul kembali. Bedanya, proyek mobil nasional masa Orde Baru yang diinisiasi pemerintah cenderung lebih politis, sementara mobil Esemka lebih partisipatif. Mengapa respons publik begitu dahsyat?
Setidaknya, pertama, di tengah laju impor yang membanjiri pasar domestik, terutama produk kebutuhan pokok masyarakat, ada kerinduan konsumen untuk menikmati produk lokal berkualitas. Mobil Esemka adalah jawaban atas kerinduan itu.
Kedua, di tengah tergerusnya keteladanan pemimpin, Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi), yang membeli langsung mobil Esemka untuk kendaraan dinas, menjadi contoh menarik strategi pemasaran sekaligus menghapus kerinduan masyarakat atas lahirnya pemimpin teladan. Publik merindukan pemimpin yang memberi contoh dalam ucapan dan laku, antara jabatan dan kebersahajaan.
Ketiga, bibit nasionalisme dan heroisme yang menstimulasi kebanggaan terhadap produk lokal ternyata masih ada. Mobil Esemka bisa jadi momentum menyentakkan kesadaran publik terhadap produk dalam negeri yang dihasilkan anak-anak bangsa.
Apakah euforia terhadap mobil Esemka bisa dijustifikasi sebagai wujud bibit nasionalisme di masyarakat? Nasionalisme ekonomi sejatinya terkait sikap mental (
Menurut Bung Hatta (1933), masyarakat adalah bagian penting dari kegiatan produksi. Merekalah sebenarnya yang menjalankan, memimpin, dan mengawasi jalannya perekonomian.
Maka, denyut nadi perekonomian sejatinya dilaksanakan dalam model partisipatif, dengan prakarsa rakyat sebagai kontribusinya. Bahkan, produknya pun harus berorientasi untuk semua.