Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pola Penularan Korupsi

Kompas.com - 27/12/2011, 03:10 WIB

Ketika Nazaruddin merasa dikorbankan, ia membuka rahasia jaringan, tetapi rantai terputus. Yang terjadi justru desolidarisasi terhadap kambing hitam dan penggalangan solidaritas untuk melindungi tokoh-tokoh kunci karena merupakan simbol kohesi sosial partai. Korupsi sudah jadi tindakan praktis yang tak menumbuhkan rasa salah. Maka, setiap orang yang masuk ke struktur kekuasaan cenderung korupsi. Tak aneh apabila orang muda PNS sudah mempunyai rekening gendut.

”Agentic shift” dan meniru

Banalitas korupsi membuat koruptor mencari alibi tanggung jawab. Bentuk alibi tanggung jawab disebut S Milgram sebagai agentic shift. Hal ini terjadi ketika orang menimpakan tanggung jawab kepada pihak lain yang dianggap lebih penting, seperti atasan, organisasi, agama, Tuhan (Dobel, 1999: 30). Bersembunyi di balik perintah atasan atau kepentingan organisasi/kelompok jadi pola pengalihan tanggung jawab. Kelompok sering makin memperparah kecenderungan alibi tanggung jawab ini karena kelompok melebih-lebihkan distorsi informasi, sekaligus memberikan sumber rasa nyaman atau simpati sehingga semakin meneguhkan pejabat publik seakan korupsi bisa dibenarkan.

Upaya mengelak dari tanggung jawab membungkam kemampuan pertimbangan moral. Akibatnya, koruptor tidak merasa bersalah karena biasanya korbannya. Mekanisme silih sering dipakai untuk mengurangi rasa salah. Sebagian uang disumbangkan untuk rumah ibadah, lembaga agama, atau bentuk kesalehan lain. Upaya ini untuk menghindari rasa salah moral, setelah secara hukum bisa lepas dari sanksi berkat impunitas.

Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola sistem isolasi sesuai model pembagian kerja. Maka, koordinasi tetap efektif dan kerahasiaan terjaga. Strategi ini memungkinkan memutus rantai sehingga jaringan tak mudah terbongkar. Hanya oknum yang terkena. Kasus Nazaruddin contoh nyata bagaimana penegak hukum tak mampu membongkar jaringan korupsi. Negara yang secara institusional sarat korupsi mengondisikan munculnya bentuk-bentuk kriminalitas lain dan membangun pola reproduksi kejahatan korupsi. Efek peniruan korupsi merasuk ke generasi muda. PNS muda sudah biasa membuat proposal dengan penggelembungan angka atau menerima gratifikasi tanpa rasa salah. Semua seakan sah.

Pengakuan legitimitas itu terpatri pada praktik sosial sehingga membentuk kecenderungan yang sama pada hampir setiap warga negara. Kejahatan korupsi biasanya ditanamkan lewat proses mimesis (meniru). Apabila ada upaya melawan atau bersikap jujur, lingkungan memberi sanksi. Akhirnya, kepatuhan tanpa tekanan akan mengikuti karena menyesuaikan diri menjanjikan keuntungan materi dan simbolis atau promosi jabatan.

Haryatmoko Dosen di Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com