Atas kekerasan itu, polisi diminta bertanggung jawab. Selain bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM, tindakan polisi dinilai melanggar konstitusi. Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari dan Ketua DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz. ”Kapolri harus bertanggung jawab atas tindakan represif aparat kepolisian di NTB,” kata Irgan.
Menurut Hajriyanto, pembubaran unjuk rasa dengan cara menembaki masyarakat merupakan kesalahan mendasar dan fundamental.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar yang dihubungi semalam membantah polisi menembaki masyarakat.
Ia menambahkan, tentang dua korban tewas yang diduga diakibatkan oleh peluru tajam, polisi masih menunggu hasil otopsi. Jika peluru tajam itu memang ada, kami akan mempelajari jenis proyektilnya. ”Setahu kami, mereka yang diduga ditembak berada 600 meter di luar areal pelabuhan,” ujar Boy.
Direktur Program Imparsial Al Araf menyatakan, pihaknya mengecam tindakan pelanggaran HAM dan mendesak reformasi agraria sekarang juga.
Bupati Bima Ferry Zulkarnain, melalui Kepala Bagian Humas Pemkab Bima Arif Gunawan, menyayangkan peristiwa tersebut. Sebelum pengosongan pelabuhan, pihak pemkab sudah memediasi warga. Bupati memutuskan menunda kegiatan penambangan, bukan mencabut izin usaha penambangan (IUP) seperti tuntutan warga. Dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pencabutan IUP hanya bisa ditempuh jika perusahaan tidak memenuhi kewajiban, melanggar hukum, dan perusahaan betul-betul jatuh pailit.
Menurut Julian, Presiden memerintahkan pemulihan kondisi keamanan dan ketertiban di sana. Julian menepis anggapan
Kepala Bidang Humas Polda NTB Ajun Komisaris Besar Sukarman Husain mengatakan, kemarin, aktivitas Pelabuhan Sape yang menghubungkan Labuan Bajo dan Waikelo di Nusa Tenggara Timur kembali berjalan normal. Menurut Jumono, Kepala Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Sape, sudah ada kapal feri yang diberangkatkan dari Sape menuju Labuhan Bajo dan Waikelo.