Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Perintahkan Investigasi Insiden Bima

Kompas.com - 26/12/2011, 05:15 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto untuk mengusut penyebab insiden di Bima, Nusa Tenggara Barat. Siapa pun, termasuk aparat keamanan, yang diduga melakukan tindak kekerasan yang menewaskan warga harus ditindak. Tak hanya itu, akar masalahnya juga harus diselesaikan.

”Presiden prihatin dengan insiden yang menimbulkan korban jiwa di Bima. Presiden memerintahkan investigasi atas kasus itu. Kalaupun ada provokator yang memicu bentrok itu, harus ditangkap dan diadili,” kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Minggu (25/12).

Hingga Minggu sore, situasi Bima sudah normal. Sabtu, Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, berubah menjadi bara api ketika aparat kepolisian mengambil tindakan keras terhadap massa yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang yang menduduki pelabuhan itu sejak Senin lalu.

Warga dari Kecamatan Lambu itu memblokir pelabuhan dengan tuntutan pencabutan izin usaha penambangan bahan mineral di wilayah itu. Alasannya, di area konsesi seluas sekitar 24.000 hektar tersebut, ada sumber air untuk keperluan air minum dan irigasi. Pemkab Bima menyanggupi menunda kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan selama setahun. Karena tak puas, warga melakukan aksi unjuk rasa dan memblokir pelabuhan itu.

Namun, saat pembubaran massa oleh polisi, bentrokan tak terhindarkan. Akibatnya, dua orang tewas, sejumlah orang luka-luka, dan puluhan orang ditangkap. Polda NTB dan Polres Bima menangkap 47 orang.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution di Jakarta, Minggu, polisi bertindak tegas karena pendudukan fasilitas publik mengganggu kepentingan masyarakat lain dan merusak fasilitas publik. Dikatakan, urusan izin pertambangan merupakan urusan pemda dengan masyarakat dan perusahaan. Jika ada masalah, seharusnya diselesaikan sesuai mekanisme. ”Jangan menduduki pelabuhan karena mengganggu kepentingan masyarakat yang lain,” katanya.

Menurut Saud, fasilitas publik yang dirusak massa, termasuk dibakar, antara lain kantor instansi terkait, seperti kehutanan, kemenpora, 3 BTN, kantor kepala desa, 25 rumah warga, polsek, 4 rumah asrama polisi, dan rumah kapolsek.

Menurut Saud, dua korban tewas adalah Arief Rachman (18) dan Syaiful (17). ”Memang ada yang bilang tiga atau lima. Namun, data kami, baru dua orang,” katanya. Informasi sama disampaikan Kapolda NTB Brigjen (Pol) Arif Wachjunadi.

Menurut Staf Ahli Menko Polhukam Sagom Tamboen, perlu ada pemahaman kronologi peristiwa. Sudah enam hari masyarakat memblokir Pelabuhan Sape yang mengakibatkan lalu lintas orang dan barang terhenti. Ini berarti aktivitas dan kepentingan publik terganggu. Banyak warga menjadi korban.

Menurut Sagom, Polri sudah lima hari melakukan langkah-langkah persuasif agar blokade itu dihentikan. Polisi meminta agar peserta unjuk rasa berpindah lokasi. Namun, permintaan itu ditolak.

Atas kekerasan itu, polisi diminta bertanggung jawab. Selain bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM, tindakan polisi dinilai melanggar konstitusi. Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari dan Ketua DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz. ”Kapolri harus bertanggung jawab atas tindakan represif aparat kepolisian di NTB,” kata Irgan.

Menurut Hajriyanto, pembubaran unjuk rasa dengan cara menembaki masyarakat merupakan kesalahan mendasar dan fundamental.

Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar yang dihubungi semalam membantah polisi menembaki masyarakat.

Ia menambahkan, tentang dua korban tewas yang diduga diakibatkan oleh peluru tajam, polisi masih menunggu hasil otopsi. Jika peluru tajam itu memang ada, kami akan mempelajari jenis proyektilnya. ”Setahu kami, mereka yang diduga ditembak berada 600 meter di luar areal pelabuhan,” ujar Boy.

Direktur Program Imparsial Al Araf menyatakan, pihaknya mengecam tindakan pelanggaran HAM dan mendesak reformasi agraria sekarang juga.

Bupati Bima Ferry Zulkarnain, melalui Kepala Bagian Humas Pemkab Bima Arif Gunawan, menyayangkan peristiwa tersebut. Sebelum pengosongan pelabuhan, pihak pemkab sudah memediasi warga. Bupati memutuskan menunda kegiatan penambangan, bukan mencabut izin usaha penambangan (IUP) seperti tuntutan warga. Dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pencabutan IUP hanya bisa ditempuh jika perusahaan tidak memenuhi kewajiban, melanggar hukum, dan perusahaan betul-betul jatuh pailit.

Kondisi normal

Menurut Julian, Presiden memerintahkan pemulihan kondisi keamanan dan ketertiban di sana. Julian menepis anggapan yang menyebutkan Presiden berpihak kepada kepentingan pengusaha.

Kepala Bidang Humas Polda NTB Ajun Komisaris Besar Sukarman Husain mengatakan, kemarin, aktivitas Pelabuhan Sape yang menghubungkan Labuan Bajo dan Waikelo di Nusa Tenggara Timur kembali berjalan normal. Menurut Jumono, Kepala Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Sape, sudah ada kapal feri yang diberangkatkan dari Sape menuju Labuhan Bajo dan Waikelo.

(RUL/SEM/ACI/WHY/FER/BIL/NTA/EDN/win)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com