Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Merambah Lahan?

Kompas.com - 20/12/2011, 02:15 WIB

Keseimbangan yang harus dilakukan terbentur penguasaan lahan oleh masyarakat yang sudah telanjur tidak dikendalikan. Sulitnya memperoleh kesepakatan antarinstansi pemerintah, lajunya pembangunan yang memerlukan lahan yang tak bisa dihentikan, atau bahkan obyek usaha berada di dalam kawasan hutan menyebabkan pemerintah memaksa mengeluarkan perizinan tanpa kecermatan penguasaan lahan di lapangan atau tidak jarang pula tumpang tindih.

Masyarakat (adat) yang telah turun-temurun berada di dalamnya tak jarang justru dianggap sebagai perambah. Apalagi, yang berada di hutan lindung atau hutan konservasi harus dikeluarkan dari areal hutan. Konflik sosial pun pecah, masyarakat merasa tak dianggap sebagai rakyat. Satu hal yang selayaknya dipahami, penunjukan lahan sebagai kawasan hutan saja belum cukup kuat secara hukum sebagai lahan yang harus dilindungi pemerintah dari ”perambahan” oleh pihak mana pun.

Masyarakat marjinal yang terpaksa tinggal di mana saja di lahan yang mampu menghidupi dan terbuka tanpa penguasaan tentu tak bisa dianggap merambah. Masyarakat tak mampu berpikir tentang sebuah kawasan atau lahan larangan. Mereka bisa masuk ke hutan, tinggal di bantaran sungai, membuat rumah di pinggir jurang ataupun di lembah yang rawan banjir karena memang pendidikan masalah keselamatan ataupun kemampuan ekonomi mereka belum bisa menggugah kesadaran dan ketaatan atas hukum yang sebenarnya juga tak mereka ketahui.

Melihat pada basis konvensi, aturan tentang pertanahan, hak-hak masyarakat adat yang harus dihormati, ataupun fungsi lingkungan yang harus diciptakan tanpa mengorbankan masyarakat penghuni, pemerintah bisa saja justru yang merambah lahan. Dalam banyak kasus, perizinan yang diterbitkan—seharusnya menganut fakta ”clear and clean”—sangat sering tak memperhatikan apalagi mempertimbangkan kondisi sosial budaya yang sudah ada.

Di sisi lain, banyak pula terjadi masyarakat yang sering kali ”menjengkelkan” pemerintah ataupun pengusaha pemegang lisensi pengusahaan lahan karena tiba-tiba saja muncul mengklaim penguasaan sebuah lahan jika tahu akan ada proyek di sana. Kemiskinan, kebutuhan akan pangan, tidak adanya intensifikasi akses produktif ke sumber daya alam yang ada, dan pendidikan rendah menyebabkan terjadinya modus tersebut.

Akibat paling buruk, terbentanglah lahan kosong telantar tetapi rapat dengan pengakuan kepemilikan yang menyulitkan pengembangan pembangunan ekonomi. Kasus Mesuji hanya sebuah awal dari letupan konflik yang akan meluas jika tak segera ditangani dengan bijak.

Pemerintah tak sekadar harus proaktif turun ke lapangan menjernihkan persoalan, tetapi juga harus segera mengambil langkah-langkah perbaikan kebijakan hulu yang secara seimbang juga berpihak pada hak-hak hidup dan kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah harus mampu diandalkan untuk menjaga hak pengusaha memperoleh jaminan kepastian lahan usaha serta iklim usaha yang aman. Penataan pemanfaatan lahan secara cermat, produktif, dan tetap menjamin keamanan fungsi ekosistem lingkungan serta jaminan keabsahannya harus menjadi kebijakan politik di negeri ini.

Transtoto Handadhari Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com