Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Kesatuan atau Negara Persatuan?

Kompas.com - 29/11/2011, 02:22 WIB

Ada pertanyaan mengusik dalam diskusi peringatan hari Sumpah Pemuda yang lalu: Mengapa kasus Prita yang dizalimi sebuah rumah sakit memperoleh dukungan luas di media sosial, sementara terbunuhnya saudara-saudara kita di Papua baru-baru ini sepi-sepi saja? 

Tentu pertanyaan di atas bisa dijawab secara filosofis dengan kata kunci ”tumpulnya empati” kita sebagai warga bangsa. Atau dengan pisau analisis filosof besar Martin Heidegger tentang kita dan orang lain (liyan, others). Dikatakan dalam bukunya yang melegenda Sein und Zeit (Being and Time/Ada dan Waktu, 1927), dunia kita adalah duniaku dan duniamu. Dunia itu bukan melulu milikku, melainkan juga milikmu. Orang lain merupakan afirmasi bagi keakuan (mineness) kita. Kalau kita lakukan deduksi, dunia kita dapat saja kita persempit menjadi bangsa kita.

Pertanyaannya lalu menjadi: masihkah kita sebagai bangsa Indonesia memandang saudara-saudara kita warga Papua sebagai warga Indonesia atau orang lain? Atau saudara-saudara kita dari etnik Papua masihkah mengidentikkan diri mereka sebagai warga Indonesia? Lalu mengapa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang mereka alami kita anggap angin lalu saja?

Adalah sosiolog Francisia (Ery) Seda yang menjawab dengan lebih pas. Soal Prita lebih mendapat dukungan kelas menengah masyarakat Indonesia karena menyangkut kepentingan dan kebutuhan warga kelas menengah itu sendiri yang sulit mengidentifikasi/menempatkan diri pada posisi warga Papua.

Jadi imajinasi keindonesiaan dalam kasus Prita cuma sebatas lapisan sosial yang sama, bukan solidaritas sosial berdasarkan imajinasi kebangsaan, tetapi berdasarkan kepentingan kelas. Kalau kelas sosial Anda sama dengan kelas sosial Prita, Anda mau membantu, soalnya kemungkinan Anda dapat mengalami nasib seperti Prita. Sementara warga Papua terlalu jauh di sana dan akses terhadap jejaring sosial justru paling banyak dinikmati kelas menengah yang punya agenda kepentingan sendiri.

Jangkar utama

Menurut Ery Seda, secara konseptual, Nasionalisme dan Negara-Bangsa merupakan konstruk teoretis yang baru beberapa abad lalu dikembangkan. Di negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, konsep ini baru berusia sekitar seabad lamanya. Perdebatan konseptual dan teoretis tetap mengasumsikan Negara adalah ”jangkar utama” kehidupan bermasyarakat.

Bagi Benedict ROG Anderson, negara lebih ditinjau sebagai imagined communities dan bukan imagined states. Ini senada dengan konsep bangsa menurut Ernest Renan yang mendefinisikan bahwa suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesediaan untuk berkorban.

Ketika ”keresahan” mulai dirasakan di dalam konteks Nasionalisme Indonesia saat ini, menurut Ery Seda, itu terjadi karena nasionalisme senantiasa dikaitkan dengan Negara-Bangsa yang peran Negaranya masih sangat dominan. Proses globalisasi dan desentralisasi (otonomi daerah) mendatangkan permasalahan bagi Nasionalisme dan Negara-Bangsa karena globalisasi berorientasi pada pasar, sedangkan desentralisasi berorientasi pada komunitas. Peran Negara tak lagi dominan secara politik, ekonomi, dan sosial. Pasar pada tatanan global dan komunitas pada tataran lokal mulai menandingi peran dan kekuatan Negara-Bangsa.

Lalu, masih relevankah kita saat ini membahas Nasionalisme? Dan masih mencanangkan sikap rigid bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati? Lalu apakah berarti jika ada aspirasi seperti di Aceh dan Papua dapat dituding sebagai gerakan separatis yang layak ditumpas?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com