Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berhitung dengan Freeport

Kompas.com - 17/11/2011, 04:33 WIB

Tahun 2009 produksi emas Freeport 2,033 juta ons. Pada tahun 2010 menjadi 1,185 juta ons atau hanya 58,29 persen. Produksi tembaga juga turun dari 1,138 miliar pon menjadi 913 juta pon. Turunnya sedikit karena masih sebesar 80,22 persen dari tahun sebelumnya. Alasannya: kadar bijih mineralnya rendah.

Memang Freeport tak mengatakannya, tetapi seperti kita lihat: yang kadar bijihnya menurun tajam itu emas; tembaga tidak. Ini sangat aneh karena penurunan tajam kadar bijih emas bersamaan waktu dengan kenaikan harga emas yang tajam dan meningkatnya kerusuhan di Timika.

Bukankah angka itu direkayasa? Mana mungkin! Akuntan publik kelas dunia kan membubuhkan tanda tangannya? Namun, tengoklah Wall Street yang jebol pada 2008 dan membawa malapetaka di seluruh dunia hingga kini. Kantor akuntan terbesar dunia Arthur Andersen musnah karena skandal besar. Bacalah buku Abraham Briloff, Unaccountable Accounting.

Ambil kembali

Tak ada gunanya membahas angka-angka itu sebab data berbagai sumber kacau. Kita ambil angka dari mana saja, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia begitu rendah sehingga dengan risiko apa pun, kita harus mengambil kembali Freeport dan mengelolanya sendiri sebagai BUMN.

Kalau perlu, biarkan tanpa dieksploitasi supaya masih ada kekayaan yang tersisa di perut bumi sampai semua faktor menjadi kondusif untuk mengelolanya sendiri tanpa mismanajemen dan korupsi. Maka, sangat melegakan bahwa Presiden SBY jelas tegas menyatakan akan melakukan renegosiasi. Kita tunggu tindak lanjut yang konkret dengan berdebar-debar.

Pada sebuah diskusi saya ditanya: mampukah bangsa Indonesia meneruskan pengelolaan Freeport tanpa hambatan? Jawaban saya: jelas mampu, kapan saja. Caranya, ganti James Moffet dan para kapitalis pemilik Freeport lainnya oleh bangsa Indonesia. Jadi, semua pemimpin Freeport yang tenaga gajian dipertahankan dengan semua gaji beserta fasilitas yang mereka nikmati sekarang. Kalau tak punya manajemen, kita sewa. Bukankah emas dan tembaga diberikan dan kita menerima lemparan apa yang disebut sebagai royalti 1-3 persen?

Ingat Bung Hatta? Ketika beliau diadili di Den Haag, majelis hakim bertanya apakah Hatta beserta para pejuang kemerdekaan lain mampu mengurus negara Indonesia yang merdeka? Hatta menjawab: ”Kalaupun tak mampu, itu bukan urusan Anda. Kami lebih suka melihat Nusantara musnah di bawah lautan daripada menjadi embel-embel Hindia Belanda!”

Sekarang mayoritas elite yang berkuasa mengatakan kita tak bisa apa-apa tanpa modal dan manajemen asing justru setelah 65 tahun merdeka. Kalau dinyatakan tak mungkin mengganti James Moffet karena tak satu pun orang Indonesia yang mampu menjalankan fungsinya, kita tak perlu bicara lagi. Bahkan, kita tak perlu berbangsa bernegara. Padahal, yang kita bicarakan ini baru emas. Belum minyak, batubara, uranium, dan banyak mineral yang digali tiap hari.

Mari mendukung SBY dalam tekadnya berenegosiasi. Bukan untuk perundingan kembali, tetapi kita dukung beliau mengambil kembali seluruhnya. Tanyakan Freeport, jika mereka harus hijrah sekarang, berapa kerugian yang harus dibayar? Pasti mereka mengajukan net present value dari kehadirannya di Timika. Menarik sekali mengetahui angka ini: seberapa jauh mereka serakah dan mau menang sendiri?

Pak SBY berpengalaman semasa beliau Menteri ESDM berenegosiasi dengan para pembangkit listrik swasta yang dalam kontrak menjual listrik kepada PLN dengan harga tiga kali lipat dari harga yang dijual PLN kepada rakyat Indonesia. Renegosiasinya berhasil. Juru rundingnya canggih: Kuntoro Mangkusubroto. Kini sangat dekat dengan beliau. Tunggu apa lagi?

Saya sadar, banyak sekali yang dapat dilontarkan sebagai bantahan: angkanya tak benar; BUMN mesti korup dan rusak; berapa pun yang diperoleh dari Freeport, kita beroleh pendapatan. Silakan. Mari berdiskusi atas dasar nalar dan data.

Kwik Kian Gie Mantan Menko Perekonomian

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com