Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan Papua buat Siapa?

Kompas.com - 02/11/2011, 02:01 WIB

Di era Yudhoyono, kekerasan aparat terhadap orang Papua secara masif kembali terjadi seperti di era Orde Baru. Apa yang dilakukan aparat terhadap mereka yang kebetulan berbeda pandangan politik begitu brutal dan keji. Aparat lebih menunjukkan kelakuan sebagai tentara penjajah ketimbang kekuatan yang ingin merangkul sesama anak bangsa yang berbeda warna kulit dan rambutnya agar tetap berada dalam NKRI. Persepsi aparat terhadap aktivis Papua belum berubah, yakni memandang mereka sebagai pemberontak atau separatis yang harus dilibas atau dihabisi. Contoh konkret adalah bagaimana mereka menangani aktivis yang hadir di Kongres Rakyat Papua III.

Aparat militer dan polisi sudah pasti tahu bahwa Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakheus, Abepura, 17-19 Oktober 2011, akan berakhir dengan deklarasi politik mengenai kemerdekaan Papua. Ternyata aparat melakukan penyerangan setelah dua jam kongres itu selesai dan bukan mencegahnya ketika kongres itu dimulai. Tiga korban jiwa yang ditemukan di belakang markas korem, semua dalam kondisi yang amat mengenaskan.

Diskriminasi politik

Di era Yudhoyono pula pemerintah mengeluarkan kebijakan berbau diskriminasi politik sekaligus menafikan UU Otonomi Khusus Papua. Tengok aturan mengenai calon anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mengharamkan mantan aktivis politik pro-kemerdekaan jadi calon anggota MRP, sementara bakal calon gubernur Papua atau Papua Barat boleh mantan narapidana politik. Mengapa pemerintah tak mau merangkul aktivis kemerdekaan Papua seperti pemerintah merangkul aktivis Gerakan Aceh Merdeka?

Tengok pula inpres percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat yang dikeluarkan pada 2007, yang kini diperbarui melalui Perpres No 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sebagai pelaksanaannya, dibuat Perpres No 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua perpres itu dikeluarkan pada 20 September 2011, tetapi baru diumumkan kepada publik saat Papua sedang bergolak. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci mengenai Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2011-2012.

Jika kita analisis substansinya, mana mungkin membangun Papua hanya melalui rencana aksi setahun. Selain itu, perpres itu juga menafikan keberadaan pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat beserta jajaran di kabupaten/kota. Bagaimana mungkin pula pemerintah pusat bicara ”percepatan pembangunan” tanpa melakukan evaluasi mendasar atas pelaksanaan otonomi khusus Papua dalam kurun waktu 2002-2011.

Apabila segala rencana pembangunan Papua dan Papua Barat dilakukan unit kerja yang dipimpin oleh Bambang Dharmono tersebut, kita patut bertanya: pembangunan di Papua untuk apa dan untuk siapa? Mengapa pemerintah tak mau membantu perjuangan para anak bangsa yang bekerja di PT Freeport Indonesia agar mendapatkan upah yang layak? Kapan renegosiasi kontrak karya Freeport dimulai agar pemerintah dan rakyat Indonesia di tanah Papua mendapat keadilan dari pendapatan perusahaan tambang tersebut. Suatu hal yang aneh, Freeport mengeruk kekayaan emas, tembaga, perak, dan mineral berharga lainnya, tapi hanya dikenai pajak 1 persen. Itu pun dianggap galian C, setara dengan batu dan pasir!

Inilah nasib negeri yang konyol karena pemerintahnya lebih menyerupai ”komprador asing” ketimbang pembela kepentingan nasional dan anak-anak bangsa.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com