Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Reshuffle"

Kompas.com - 15/10/2011, 01:52 WIB

Budiarto Shambazy

Sejak merdeka, kultur kepemimpinan macam kerajaan purbakala. Apa pun sistem politiknya, para pemimpin bertingkah seperti maharaja, lengkap dengan mahapatih, patih, dan penggawa.

Pemimpin doyan disanjung-sanjung dan suka gembar-gembor mengenai kehebatan dirinya. Mahapatih, patih, dan dayang-dayang hidup sejahtera karena rajin ikut sang maharaja beranjangsana ke mana-mana.

Rakyat praktis menjadi hamba. Meski sudah merdeka dari penjajahan Jepang dan Belanda, rakyat dipaksa menyembah sang raja.

Dulu, para pemimpin mengajarkan rakyat untuk saling panggil ”bung” atau cukup ”saudara” saja. Belakangan rakyat menghamba menyebut maharaja ”Bapak Pembangunan” atau ”Paduka yang Mulia”.

Maharaja pertama ahli merangkai kata-kata jadi cabang-cabang ideologi negara beraneka rupa. Maharaja pertama penemu Pancasila yang tak pernah diserap—apalagi dipraktikkan—dan menjadi pemanis bibir saja.

Maharaja pertama demokratis sekitar 14 tahun usia pertama republik kita. Ia berjuang untuk negaranya sejak mahasiswa sampai akhirnya lelah.

Setelah 1959, ia hidup ketika berada di podium dan di hadapan puluhan ribu warga. Sang maharaja tetap dihormati dan dijunjung tinggi walau selalu menjadi incaran musuh-musuh besar yang siap menggulingkannya.

Maharaja kedua kecanduan Pancasila. Ia bertahan sekuat tenaga untuk mengamankan kursi kebesarannya.

Maharaja kedua di hadapan siapa saja menjaga wibawa sembari mengangguk-anggukkan kepala. Jabatannya oleh pers harus pakai huruf kapital di depan jadi ”Kepala Negara”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com