Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pangan Rentan pada Perubahan

Kompas.com - 14/10/2011, 03:22 WIB

Indonesia tidak dapat memungkiri bahwa ketahanan pangan di dalam negeri sangat tergantung pada kondisi pasar internasional. Lihat saja pada semester I-2011, nilai impor produk pangan untuk pasar dalam negeri sudah mencapai 10,27 miliar dollar AS, nyaris separuh dari ekspor komoditas pertanian yang tercatat 21,59 miliar dollar AS.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menuturkan, salah satu syarat tercapainya ketahanan pangan adalah stabilitas. Artinya, pangan harus tersedia setiap waktu dan bisa diakses oleh semua pihak, terutama kelompok masyarakat miskin. Ini yang mendorong pemerintah memutuskan impor karena harus menjaga ketersediaan pada persediaan cadangan (buffer stock) komoditas pangan, terutama beras.

”Kami mengimpor bukan untuk liberalisasi pasar beras, melainkan untuk mencukupi cadangan di dalam negeri. Setelah cukup dengan kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan, kami tidak perlu impor lagi,” ujar Mari dalam diskusi ketahanan pangan, pekan lalu.

Namun, pergerakan harga komoditas pangan yang tidak mudah diprediksi menjadi faktor yang menyulitkan saat ini. Atas dasar itu, pemerintah menghadapinya dengan pendekatan langsung kepada produsen produk akhir.

Di sisi lain, pemerintah mempersiapkan subsidi untuk menutup selisih antara harga yang bisa diturunkan produsen dan kemampuan beli masyarakat. Jika ini tidak berhasil, instrumen lain yang dipakai adalah bea masuk, bea keluar, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketika kenaikan harga perlu diredam, bea masuk dan PPN akan dinolkan.

Pasar rapuh

Masalahnya, pasar internasional yang menjadi sumber impor produk pangan, terutama beras, merupakan pasar yang rentan. Beras yang tersedia hanyalah residu atau surplus (sisa lebih cadangan beras) di negara-negara eksportir beras utama, yakni Thailand dan Vietnam. Surplus ini semakin menipis sehingga Indonesia harus bersaing ketat.

Lihat saja, pada periode 1999-2001, kebutuhan beras dunia mencapai 387 juta ton, sedangkan produksinya 403 juta ton sehingga surplus masih 16 juta ton. Namun, tahun 2030, surplusnya akan semakin tipis, yakni tinggal 2 juta ton karena kebutuhan sudah mencapai 503 juta ton, sedangkan produksi hanya 505 juta ton.

Ini semakin parah ketika urusan politik di negara eksportir ikut campur, contohnya Thailand. Ketika Perdana Menteri Thailand terpilih, Yingluck Shinawatra, berkampanye demi jabatannya tersebut, dia menjanjikan kepada para konstituennya, harga penjualan beras Thailand ditetapkan tinggi.

”Thailand ingin menaikkan harga menjadi 800 dollar AS per ton. Ini pasti akan menjadi masalah di Indonesia. Harga bisa lebih tinggi ketika Indonesia mengumumkan impor. Idealnya rencana impor itu tidak diumumkan,” ujar Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com