Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Harus Berdaulat

Kompas.com - 14/10/2011, 03:21 WIB

Politik pangan yang ditegaskan pada koridor ketahanan pangan berbasiskan impor telah menyebabkan Indonesia salah berkiblat. Di dunia, orang sudah berbicara kedaulatan pangan yang jauh lebih paripurna ketimbang ketahanan pangan.

Dengan kedaulatan pangan, Indonesia tidak akan terpuaskan hanya dengan ketersediaan, keterjangkauan, kemerataan, dan keamanan pangan. Kedaulatan juga mengandung urusan demokrasi, partisipasi, hak menentukan, dan tata niaga.

Ironisnya, meskipun ketahanan pangan sudah ditegaskan sebagai tujuan utama di sektor pertanian, krisis pangan justru terus terjadi pada empat komoditas penting, yakni gula, kedelai, terigu, dan beras. Importasi gula sudah mendekati 40 persen dari produksi gula nasional. Masalah muncul ketika gula petani tidak terserap pasar dan ditekan penurunan harga akibat bocornya gula rafinasi impor ke pasar gula konsumsi.

Guru Besar Sosial-Ekonomi Agroindustri Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum Machfoedz, dalam diskusi terbatas Kompas dan Oxfam pekan lalu, menuturkan, setelah krisis gula, krisis kedelai juga muncul pada 2008, yakni ketika impor kedelai dibuka lebar. Produksi nasional yang sempat memuncak tahun 1995 sebesar 1,5 juta ton terus melorot ke level 808.000 ton pada 2005, lalu 748.000 ton (2006), dan 608.000 ton pada tahun 2007.

”Kedelai 2009 ternyata produksinya hanya 780.000 ton. Yang lebih mengejutkan, angka ramalan II Badan Pusat Statistik menyebutkan, produksi kedelai 2010 drop hanya 454.850 ton. Hebatnya, Indonesia optimistis dengan swasembada kedelai tahun 2014,” tutur Prof Maksum.

Mengenai terigu, kebijakan pemerintah justru membahayakan program pengalihan konsumsi dari beras ke tepung ubi. Kemudahan importasi tepung terigu telah menyebabkan industri berbasis penepungan ubi kayu (modified cassava flour/mocaf) menjadi selalu merugi karena terigu terlampau murah.

Ketika harga terigu semakin mahal menjelang eskalasi harga pangan dunia, secara ekonomis tepung ubi kayu sangat layak diproduksi tahun 2007. Kelayakan itu sempat mendorong beberapa daerah, seperti Kabupaten Trenggalek, berusaha melakukan investasi demi menambah nilai tambah dan kesejahteraan petani singkong. Tadinya, dengan mengembangkan mocaf, Indonesia bisa mensubstitusi sebagian dari konsumsi tepung terigu yang membebani neraca pangan.

”Sayangnya, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II melihatnya berbeda. Pada Februari 2008, terigu dinilai terlalu mahal sehingga bea masuknya dihapus. Karena belum cukup menurunkan harga, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) pun dihapuskan. Maka, sempurnalah pembunuhan atas mocaf itu,” kata Prof Maksum.

Bernafsu ekspor

Ketidakkonsistenan juga terjadi pada perberasan. Ketika harga beras di pasar dunia melonjak ke level 700 dollar AS bahkan sempat menyentuh 1.000 dollar AS per ton pada Maret-Mei 2008, pihak-pihak yang mendorong impor beras tiba-tiba saja sangat bernafsu untuk mengekspor.”Mereka yang pada bulan Februari 2008 membuat kebijakan untuk memudahkan impor beras dan membangun legitimasi bahwa Indonesia defisit beras dan butuh mengimpor beras tiba-tiba digantikan kampanye ekspor,” papar Machfoedz.

Lalu pada Maret 2010, pemerintah mencanangkan swasembada pada lima produk pangan utama, yakni beras, gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Ini terasa sangat politis karena daging sapi, misalnya, sudah tiga tahun tertunda pencapaian swasembadanya, yakni 2000, 2005, 2010, dan nanti ditetapkan lagi 2014.

Pengamat pangan dari Ecosoc Right, Sri Palupi, mengatakan, kunci sukses yang harus dilakukan pemerintah agar tidak keliru membuat kebijakan di bidang pangan adalah turun sendiri ke lapangan, yakni dengan mengunjungi petani dan mendengarkan keluhannya.

”Data harus berpijak pada situasi riil dan masalah riil di lapangan. Dengan situasi petani dan lahan saat ini, semua faktor menunjukkan kita harus waspada karena situasinya sangat negatif,” tuturnya. (OIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com