Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memilih Hakim Agung

Kompas.com - 23/09/2011, 02:14 WIB

Oce Madril

Dewan Perwakilan Rakyat segera memilih hakim agung. Pemilihan ini penting dicermati mengingat posisi strategis seorang hakim agung, baik secara hukum maupun politik.

Ada dua masalah yang biasanya muncul terkait dengan pemilihan hakim agung ini. Pertama, masalah rasio calon yang harus diajukan Komisi Yudisial (KY). Kedua, adanya upaya politisasi. Kedua masalah ini selalu menjadi ganjalan ketika publik menuntut KY untuk menominasikan calon-calon terbaik dan memiliki integritas tinggi.

Seperti yang terjadi saat ini, ketika KY hanya berhasil memilih 18 calon untuk diajukan ke DPR. Padahal, seharusnya KY mengusulkan 30 nama karena saat ini ada 10 lowongan hakim agung di Mahkamah Agung (MA). Menurut UU, untuk satu lowongan hakim agung, KY harus mengirim tiga nama. Artinya, saat ini DPR hanya akan memilih 6 hakim agung dan ada 4 lowongan lagi yang harus diisi kembali.

Masalah rasio ini muncul dari ketentuan Pasal 18 Ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang mensyaratkan bahwa KY harus mengajukan tiga nama calon kepada DPR untuk setiap satu lowongan hakim agung. Tak jelas apa alasan aturan itu. Konstitusi pun tak mengatur demikian. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Di situ tak ada pengaturan rasio.

Tanpa landasan konstitusional, sebaiknya model rasio ditiadakan karena aturan ini kenyataannya telah menjadi kendala dalam proses pemilihan hakim agung. Sudah rahasia umum, sangat sulit menemukan calon hakim agung yang benar-benar sesuai dengan harapan publik.

Bahkan, pernah ada kasus di mana KY harus menurunkan standar seleksinya, yakni tahun 2006, ketika pertama kali KY menyelenggarakan seleksi hakim agung. Saat itu KY hanya mengajukan 6 calon dari seharusnya 18 calon. DPR berulah dengan menolak 6 calon tersebut dan meminta KY tetap mengajukan 18 calon. Akhirnya, KY memenuhinya dengan menurunkan standar kualitas seleksi.

Insiden tahun 2006 itu hanya contoh betapa sulit mencari hakim agung yang berkualitas. Apalagi dengan rasio tiga calon untuk satu lowongan, bisa dibayangkan betapa KY dipaksa untuk berkompromi dengan kualitas hakim agung yang ala kadarnya.

Idealnya, KY hanya mengusulkan calon dalam rasio lebih kecil. Sebagai contoh, dua calon untuk satu lowongan, seperti sistem seleksi komisioner beberapa komisi negara. Lebih ideal lagi, KY hanya mengusulkan satu calon untuk satu lowongan. Dan, DPR hanya dalam posisi memberikan persetujuan atau penolakan atas calon yang diajukan, bukan memilih. Selain lebih efektif, hal ini juga demi menghindari upaya politisasi karena DPR tidak diberikan banyak pilihan.

Intervensi politik

Selain masalah rasio, pemilihan hakim agung juga rentan dipolitisasi. Hal ini terkait posisi strategis seorang hakim agung secara politik. Alhasil, banyak kekuatan politik yang berkepentingan dengan posisi tersebut.

Sebagaimana dinyatakan Christopher E Smith dalam Critical Judicial Nominations and Political Change (1989), proses nominasi hakim agung akan selalu diikuti dengan kontestasi kepentingan politik. Pihak-pihak terkait, seperti pemerintah, parlemen, dan MA, punya tujuan politik masing-masing ketika menominasikan calon tertentu.

Anthony Blackshield dalam The Appointment and Removal of Federal Judges (2005) menggambarkan tiga pola politisasi. Pertama, pemerintah atau parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik sama dengan mereka. Kedua, calon hakim agungnya sendiri merupakan anggota parlemen dan aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan hakim agung atas dasar balas jasa politik.

Tiga pola politisasi inilah yang menyebabkan independensi hakim dan peradilan terganggu. Hakim dan peradilan dibuat tunduk pada kepentingan politik sehingga independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara akan dipertanyakan.

Pencegahannya bisa dengan tiga cara. Pertama, mekanisme pemilihan harus steril dari politisasi. Melibatkan komisi independen seperti KY merupakan metode yang direkomendasikan berbagai instrumen internasional untuk menjamin depolitisasi pemilihan hakim agung. Selama ini, KY telah memainkan peran menjauhkan pemilihan hakim agung dari upaya politisasi melalui proses seleksi yang cukup transparan dan akuntabel.

Kedua, meminimalkan peran parlemen. Kredibilitas DPR dalam pemilihan hakim agung dipertanyakan. Sebab, uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan DPR selama ini disinyalir hanya ajang transaksi politik. Bahkan tak jarang, DPR justru memilih calon yang berkualitas dan berintegritas rendah.

Terakhir, calon hakim agung yang berasal dari partai politik patut ditolak. Pasalnya, calon partisan akan sulit bersikap independen dan imparsial serta dapat menyeret MA tunduk pada kepentingan politik tertentu.

Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com