Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nihil Kerusuhan Agama di Indonesia

Kompas.com - 15/09/2011, 03:09 WIB

Oleh Edy M Ya'kub

Ketegangan 11/9 (11 September 2011) yang terjadi di Ambon agaknya ingin mengulangi kerusuhan Ambon sebelumnya untuk menyeret hal sepele menjadi pemicu munculnya konflik bernuansa agama.

Hal itu tidak jauh berbeda dengan konflik serupa di Poso yang terjadi hingga berkali-kali dengan target menjadikan kerusuhan yang ada sebagai konflik agama yang sebenarnya bersumber dari persoalan sepele.

Sejatinya, konflik atau kerusuhan agama itu tidak ada di Indonesia, karena pemeluk Kristen dan Islam di Poso dan Ambon yang selamat dari konflik saat itu selalu diselamatkan tetangganya yang berlainan agama.

Namun, indikasi adanya upaya untuk menyulut kerusuhan menjadi konflik agama itu selalu terlihat dalam jejak lokasi awal terjadinya kerusuhan, meski siapa yang merekayasa tak begitu jelas.

Buktinya, ketegangan 11/9 di Ambon dipicu rasa tidak puas keluarga Darvis Saiman, pengojek sepeda motor dari Waehaomg (permukiman warga Muslim) yang ditemukan tewas di kawasan Gunung Nona (permukiman warga Nasrani).

Mereka menduga kuat anggota keluarganya itu tewas dibunuh, namun hasil visum membuktikan korban tewas akibat kecelakaan murni, meski enam orang meninggal dunia dan 187 lainnya luka berat dan ringan akibat ketegangan 11/9 itu.

Pola serupa juga terjadi saat kerusuhan pertama meledak dan berkepanjangan di Ambon pada 19 Januari hingga 8 Maret 1999, kemudian disambung dengan perluasan kerusuhan ke Tual mulai 28 Maret hingga 6 April 1999.

Itu pun masih diulangi dengan kerusuhan Ambon II mulai 11 Mei hingga 3 Agustus 1999, sehingga kerusuhan di Ambon berlangsung setahunan sejak Desember 1998 hingga Desember 1999.

Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) Maluku mencatat kerusuhan dipicu pemuda mabuk yang memeras dengan sopir angkutan kota di terminal, lalu terjadi pertengkaran, namun akhirnya berlanjut dengan tiga kejanggalan yakni pengerahan massa, teriakan provokasi, dan rekayasa selebaran.

Bukti adanya provokasi atau rekayasa juga ada dalam ketegangan 11/9 di Ambon itu yakni adanya upaya perluasan konflik melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan bahkan pesan singkat (SMS) yang sengaja disebarluaskan kemana-mana.

Akhirnya, Bidang Bimbingan Masyarakat (Bimmas) Kepolisian Daerah (Polda) Maluku pun berusaha "menandingi" provokasi itu melalui "perang" SMS untuk meminta warga Ambon tidak mudah terprovokasi oleh isu yang menyesatkan.

"Kalau imbauan seperti ini dikirim melalui pesan singkat atau membuat iklan layanan di media massa sejak awal, kemungkinan berbagai rumor negatif bisa dieliminasi sehingga tidak berdampak pada aksi bentrok antarwarga," kata warga penerima SMS di Ambon, Berthi S (13/9).

Pesan singkat yang dikirimkan Polda Maluku melalui nomor 3936 itu mengajak warga Maluku untuk tidak terprovokasi isu yang memecah belah dan menjaga kedamaian dan keamanan.

Tidak jauh berbeda dengan Ambon, di Poso juga ada upaya provokasi untuk memperluas kerusuhan itu yang diciptakan oleh entah siapa hingga Kerusuhan Poso I (25-29 Desember 1998) pun berlanjut pada Kerusuhan Poso II (17-21 April 2000), dan Kerusuhan Poso III (16 Mei - 15 Juni 2000).

Namun, kerusuhan Poso yang awalnya dipicu ulah pemuda mabuk yang menikam pemuda lain itu tidak terbukti dilakukan pemeluk Islam-Kristen yang sudah bertetangga dengan baik selama puluhan tahun.

Bahkan, sejumlah wartawan yang menjadi peserta pelatihan Jurnalisme Damai saat datang ke Poso (2001) menemukan bahwa masyarakat di kawasan Islam yang selamat umumnya dilindungi tetangganya yang beragama Kristen dan sebaliknya.

Dialog atau Kekerasan

Untuk mengantisipasi kerusuhan yang direkayasa bernuansa agama itu agaknya memerlukan peran serta secara simultan dari kalangan tokoh lintas agama, aparat kepolisian, dan media massa.

Tokoh lintas agama perlu "turun gunung" untuk menepis pandangan bahwa konflik yang terjadi merupakan konflik agama, namun konflik itu justru mengandung upaya provokasi terhadap pemeluk agama untuk saling bertikai.

Sementara itu, aparat kepolisian juga perlu berlaku adil dan tidak semena-mena saat melakukan pengamanan, agar tidak memicu munculnya kebencian masyarakat yang justru akan menjadi penyebab terjadinya kerusuhan baru.

"Tidak hanya melakukan pengamanan dengan baik. Polisi juga harus secepatnya memberlakukan proses hukum yang adil, apabila hasil analisa kerusuhan itu memang ada pihak yang patut dipersalahkan. Berikan masyarakat kepuasan," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj (13/9).

Peran media massa juga tidak kalah penting untuk tidak "memanaskan" situasi dengan pilihan narasumber dan bahasa tulis yang provokatif, sebab bahasa yang digunakan dan narasumber yang dipilih media massa akan dapat mempengaruhi masyarakat setempat.

Namun, peran tokoh lintas agama, aparat kepolisian, dan media massa dari kalangan eksternal untuk mengurangi provokasi dari luar itu juga menuntut peran kalangan internal yang sangat penting untuk mendorong tumbuhnya perdamaian di masyarakat yakni kelompok menengah di tengah masyarakat itu sendiri.

"Biarkan masyarakat Ambon, tokoh masyarakatnya dengan tatanan adat, dan struktur pemerintahannya menyelesaikan persoalan itu sendiri," kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tamagola, di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta (12/9).

Pentingnya peran kelompok menengah di tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya sendiri itu juga dibenarkan budayawan dan kolomnis Goenawan Mohammad (GM) dalam orasi kebudayaan pada "FIB Lecture Series" di Unair Surabaya (12/9).

Salah seorang pendiri MBM Tempo itu menilai masyarakat Indonesia yang majemuk membutuhkan bahasa dialog dan bukan bahasa kekerasan dalam menyikapi perbedaan yang ada, karena itu bahasa dialog harus digencarkan terus menerus.

"Indonesia sekarang begitu multikultural akibat tiga faktor yakni urbanisasi, masuknya pengaruh Timur Tengah, dan kembalinya militansi pada semua agama," katanya di hadapan mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) serta seniman dan pegiat LSM.

Ia menjelaskan urbanisasi membuat orang desa menyerap nilai-nilai kota, sehingga mudah terjadi ketegangan akibat perubahan itu.

Selain itu, faktor masuknya pengaruh Timteng seperti ditunjukkan dengan hadirnya Front Pembela Islam (FPI) juga menimbulkan ketegangan akibat perubahan yang berhadapan dengan nilai-nilai lokal.

Satu faktor lagi adalah kembalinya militansi dimana-mana, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama lainnya yang mulai menggejala dalam 15 tahun terakhir.

"Ketiga faktor itu mendorong perubahan di Indonesia yang menyebabkan multikulturalisme menjadi semakin menonjol, namun kita menyikapinya secara salah, sehingga penjagaan terhadap konsep negara-bangsa menjadi rapuh, karena kita terseret pada loyalitas non-negara-bangsa," katanya.

Cara yang salah adalah penyikapan terhadap semua perubahan yang ditimbulkan ketiga faktor itu dengan kekerasan, sehingga tidak ada dialog antara perbedaan yang ada dan kerusakan terjadi dimana-mana.

"Fundamentalisme itu tidak salah seperti halnya liberalisme juga tidak salah, tapi akhirnya terjadi kerusakan, karena kita membutuhkan bahasa dialog, tapi kita justru menggunakan bahasa kekerasan. Ke depan, kita harus mengedepankan dan memperbanyak dialog di masyarakat agar kita terbiasa dengan perbedaan," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com