Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moralitas di Zaman Edan

Kompas.com - 18/07/2011, 02:06 WIB

Mungkin para pelaku tersebut tahu sasaran mereka terdiri dari pemuda, mahasiswa, buruh, petani, nelayan, intelektual, ulama, dan ibu rumah tangga, tetapi pasti tidak mengenal persis siapa mereka sebenarnya satu per satu. Paling banter mereka pernah bertatap muka sejenak ketika sedang berkampanye politik, sewaktu promosi penjualan, dalam kesempatan perayaan hari besar nasional, atau dalam rangka kunjungan kerja resmi.

Anonimitas kelompok sasaran dipertegas oleh kenyataan bahwa dampak dari tindakan pelaku baru diketahui jauh di kemudian hari. Tampang sasaran sudah begitu kabur sehingga tidak berdaya menggugah keharusan moral untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada siapa dan tindakan pribadi yang mana? Pihak yang seharusnya merupakan sasaran tanggung jawab pelaku sudah begitu anonim di tengah-tengah massa yang disebut hanya dalam term ”jumlah” hasil hitungan sensus penduduk atau dalam term ”rata-rata” angka statistik.

Anomali modernitas sebenarnya sudah diantisipasi oleh Charles Fourirer, seorang pebisnis sosialis pada akhir abad XVIII, yang salah satu ucapannya sering dikutip oleh Bung Hatta dalam menjelaskan nilai perkoperasian. Hal serupa dilakukan pula oleh Andre Malraux, seorang pejuang idealis pada awal abad XX. Untuk mengatasi anomali itu, melalui ucapan dan perbuatan, mereka telah membayangkan adanya suatu humanisme baru.

Tanggung jawab moral

Manusia modern selaku apa pun dan di mana pun diingatkan supaya tetap bertanggung jawab moral atas perbuatannya terhadap sesama manusia. Adalah wajar jika setiap orang berusaha berperan dalam kehidupan bersama. Namun, peran bukan berarti mematikan tanggung jawab. Ia harus ditanggapi sebagai peluang bagi manusia untuk bertanggung jawab atas nasib pihak lain: orang-orang yang dengan dia bukan sekeluarga, sesuku, sedaerah, seagama, separtai, atau dari ras yang sama.

Jadi, kepedulian moralnya terhadap pihak lain karena ia berupa manusia yang sama sekali memang lain dengan dia. Inilah yang ketika itu disebut ”humanisme baru” yang kini cenderung dinamakan ”humanisme universal” .

Humanisme tersebut kelihatannya diabaikan begitu saja oleh keedanan para pelaku reformasi. Padahal Pancasila yang selalu mereka jadikan hiasan ucapan di depan publik telah mengingatkan supaya kita, Indonesian citizens, menjadi manusia bertuhan serta sekaligus adil dan beradab. Beradab karena kita berani ”keluar” dari ego sendiri serta bertuhan karena keluar demi ”melayani/mengasihi pihak yang betul-betul lain dengan kita”.

Hamenangi jaman edan....!

Daoed Joesoef Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com