Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moralitas di Zaman Edan

Kompas.com - 18/07/2011, 02:06 WIB

Daoed Joesoef

Tingkah laku politisi yang saling menuduh dan mencerca, sikap para birokrat yang acuh tak acuh, ulah para pebisnis yang serba asosial dan antilingkungan, serta kebijakan pemerintah yang tidak merakyat dan membingungkan menunjukkan betapa tanggung jawab moral memudar. Padahal, ia perlu tampil justru untuk memupus edan-edanan reformasi.

Memudarnya tanggung jawab moral tersebut menimbulkan suatu situasi ganda yang memprihatinkan. Di satu pihak, warga individual jadi kian stres dan beringas karena merasa diabaikan nasibnya begitu saja. Dia jadi cepat naik pitam, gampang mengamuk ke siapa saja dan merusak apa saja, serta tidak mau tahu tentang akibat destruktif perbuatannya. Di lain pihak, unsur-unsur pembentuk pola pikir masyarakat yang berpembawaan divergen semakin menekan unsur yang cenderung konvergen sehingga ia menjadi tidak berdaya. Hal ini memprihatinkan karena—dalam keadaan normal—konvergensi pola pikir masyarakat justru berfungsi mengimbangi karakter individual destruktif warganya.

Memudarnya tanggung jawab moral karena pelaku dan sasaran perlakuan cenderung anonim. Pelaku terdiri dari politikus, birokrat, penguasa/pejabat, dan pebisnis. Sasaran perlakuan adalah penanggung akibat tindakan para pelaku. Anonimitas ini merupakan anomali dari modernisasi cara pengelompokan manusia. Dampaknya diperparah oleh keedanan reformasi yang memanfaatkan anonimitas manusia modern tadi.

Cara pengelompokan modern di bidang apa pun disebut organisasi. Perkembangan organisasi yang semakin melembaga mudah dimanfaatkan oleh para pelaku menjadi pelindung. Kelembagaan tersebut dijadikan alasan logis oleh mereka untuk membebaskan diri dari tanggung jawab moral pribadi atas pelaksanaan kerjanya. Di situ mereka hanya menjalankan peran tertentu. Jadi yang bertanggung jawab adalah peran, bukan pemeran.

Transformasi edan-edanan memperparah keadaan dengan menganggap peran/jabatan tertentu sebagai punya hak prerogatif yang pantang digugat. Maka, kekeliruan apa pun menjadi suatu kesalahan prosedur, bukan merupakan tanggung jawab pribadi sang politikus, pebisnis, pejabat/penguasa yang melakukannya. Berarti, kesalahan prosedur tidak lagi ditanggapi sebagai suatu kesalahan moral yang menuntut tanggung jawab pribadi dari pelaksana peran, sang pelaku.

Kian serba kabur

Kekaburan tanggung jawab moral pelaku semakin dipertegas oleh penalaran diktum manajemen organisasi modern, yaitu spesialisasi yang sejauh mungkin demi kesangkilan dan kemangkusan kerja. Diferensiasi tugas memang memperbesar tanggung jawab seseorang atas kinerjanya. Namun, karena satu penugasan diselesaikan oleh begitu banyak orang dalam mata rantai kerja dan rangkaian jenjang kerja yang aneka ragam, menjadi kabur lokus tanggung jawab penuh yang menetapkan siapa penanggung jawab yang sebenarnya atas hasil akhir dari sesuatu tugas pekerjaan.

Kekaburan menjadi semakin sulit diatasi dalam usaha melacak penanggung jawab yang sebenarnya tadi apabila tidak ada kontrol yang lugas dalam pelaksanaan kerja karena dominasi kebiasaan ewuh pakewuh dalam pergaulan/kedinasan. Jadi, dalam kondisi kerja di mana orang dengan mudah melempar tanggung jawab kepada pihak lain, timbullah satu situasi—menurut pengamat proses modernisasi Zygmunt Bauman—di mana ada ”dosa tanpa pendosa, kejahatan tanpa penjahat, kesalahan tanpa pembuat salah. Tanggung jawab atas hasil final suatu tindakan jadi mengambang”.

Anonimitas tidak hanya menyelimuti pelaku, tetapi melekat pula pada sasaran pelaku tindakan. Sasaran menjadi semakin tidak jelas berhubung jangkauan tindakan menjadi semakin luas, baik dalam term waktu ataupun ruang, yang berarti pula mencakup semakin banyak orang atau kelompok. Politikus hanya tahu di ujung sana dari tindakannya ada sekelompok pemilih yang dinamakan konstituen. Ujung sana dari kegiatan pebisnis adalah konsumen; dari ”pengabdian” pejabat/birokrat adalah masyarakat; dan dari kebijakan pemerintah/penguasa adalah massa yang disebut rakyat.

Mungkin para pelaku tersebut tahu sasaran mereka terdiri dari pemuda, mahasiswa, buruh, petani, nelayan, intelektual, ulama, dan ibu rumah tangga, tetapi pasti tidak mengenal persis siapa mereka sebenarnya satu per satu. Paling banter mereka pernah bertatap muka sejenak ketika sedang berkampanye politik, sewaktu promosi penjualan, dalam kesempatan perayaan hari besar nasional, atau dalam rangka kunjungan kerja resmi.

Anonimitas kelompok sasaran dipertegas oleh kenyataan bahwa dampak dari tindakan pelaku baru diketahui jauh di kemudian hari. Tampang sasaran sudah begitu kabur sehingga tidak berdaya menggugah keharusan moral untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada siapa dan tindakan pribadi yang mana? Pihak yang seharusnya merupakan sasaran tanggung jawab pelaku sudah begitu anonim di tengah-tengah massa yang disebut hanya dalam term ”jumlah” hasil hitungan sensus penduduk atau dalam term ”rata-rata” angka statistik.

Anomali modernitas sebenarnya sudah diantisipasi oleh Charles Fourirer, seorang pebisnis sosialis pada akhir abad XVIII, yang salah satu ucapannya sering dikutip oleh Bung Hatta dalam menjelaskan nilai perkoperasian. Hal serupa dilakukan pula oleh Andre Malraux, seorang pejuang idealis pada awal abad XX. Untuk mengatasi anomali itu, melalui ucapan dan perbuatan, mereka telah membayangkan adanya suatu humanisme baru.

Tanggung jawab moral

Manusia modern selaku apa pun dan di mana pun diingatkan supaya tetap bertanggung jawab moral atas perbuatannya terhadap sesama manusia. Adalah wajar jika setiap orang berusaha berperan dalam kehidupan bersama. Namun, peran bukan berarti mematikan tanggung jawab. Ia harus ditanggapi sebagai peluang bagi manusia untuk bertanggung jawab atas nasib pihak lain: orang-orang yang dengan dia bukan sekeluarga, sesuku, sedaerah, seagama, separtai, atau dari ras yang sama.

Jadi, kepedulian moralnya terhadap pihak lain karena ia berupa manusia yang sama sekali memang lain dengan dia. Inilah yang ketika itu disebut ”humanisme baru” yang kini cenderung dinamakan ”humanisme universal” .

Humanisme tersebut kelihatannya diabaikan begitu saja oleh keedanan para pelaku reformasi. Padahal Pancasila yang selalu mereka jadikan hiasan ucapan di depan publik telah mengingatkan supaya kita, Indonesian citizens, menjadi manusia bertuhan serta sekaligus adil dan beradab. Beradab karena kita berani ”keluar” dari ego sendiri serta bertuhan karena keluar demi ”melayani/mengasihi pihak yang betul-betul lain dengan kita”.

Hamenangi jaman edan....!

Daoed Joesoef Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com