Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Yudhoyono harus mencurahkan perhatian terhadap persoalan bangsa.
Hal itu diingatkan Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, dan pengamat hukum Irmanputra Sidin di Jakarta, Selasa (12/7). Mereka menanggapi pernyataan Presiden Yudhoyono tentang kondisi Partai Demokrat terkait dengan perkembangan kasus dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, yang menyeret Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, dan kader lainnya (Kompas, 12/7).
”Tidak bisa dibantah, energinya (Presiden Yudhoyono) sekarang terkuras oleh urusan partai. Apalagi saat ini ia lebih dominan, bahkan lebih dominan dari Ketua Umum (Partai Demokrat, Anas Urbaningrum). Seharusnya persoalan itu diurus Ketua Umum,” kata Saldi.
Irmanputra menambahkan,
Ia melanjutkan, ”Begitu juga DPR berfungsi sebagai pengontrol lembaga kepresidenan. Ini menimbulkan persepsi, masalah internal parpol adalah masalah bangsa dan negara.”
Irman dan Saldi sepakat, Presiden Yudhoyono melepaskan jabatan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat secepatnya. Jabatan itu menyebabkan persoalan internal parpol terbaca seolah menjadi persoalan negara.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara, Mirza Nasution, menambahkan, penjelasan Yudhoyono sebagai pendiri Partai Demokrat, menanggapi kemelut di partainya, tak menggambarkan kedewasaan politik. Semestinya dia, yang menjabat Presiden pula, memberi contoh dengan menindak tegas kader Demokrat yang berperilaku koruptif daripada menuduh pihak lain, termasuk media massa menyebarkan berita tak bertanggung jawab dan mengadu domba kader partainya.
Sebaliknya, peneliti politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, memuji penolakan Yudhoyono terhadap isu kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat sebagai sikap yang bijak. Jika KLB dikabulkan dan terjadi, hal tersebut akan membuka kotak pandora kerusakan Partai Demokrat yang lebih parah dan tuntutan penggantian presiden.