Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPP dan Nasib Parpol Islam

Kompas.com - 04/07/2011, 03:30 WIB

Sebagai parpol Islam tertua dan secara historis merupakan hasil fusi dari Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada 1973, PPP sebenarnya memiliki ”modal politik” untuk bertahan. Namun, modal politik tersebut tidak pernah dikelola secara cerdas. Ketika rezim Orde Baru Soeharto runtuh dan terbuka peluang mendirikan parpol baru menjelang Pemilu 1999, para petinggi PPP gagal menahan euforia pendirian kembali partai-partai Islam yang akhirnya justru saling ”memangsa” satu sama lain.

Faktor lain yang mengakibatkan terus tergerusnya suara parpol Islam dan berbasis Islam adalah kegagalan para pemimpinnya membaca arah perilaku pemilih yang tidak lagi tergoda oleh simbol dan sentimen kultural seperti era 1950-an. Meskipun sebagian pemilih masih mempertahankan loyalitas kultural mereka terhadap parpol Islam dan berbasis Islam, populasinya terus menurun dari pemilu ke pemilu karena hampir tidak ada upaya petinggi partai merawat basis dukungan yang terbatas tersebut.

Tampaknya ”celah” inilah yang dimanfaatkan oleh Partai Keadilan (kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera) yang memperluas basis politiknya melalui sistem kaderisasi yang jelas, terarah, dan terukur.

Namun, peluang PKS untuk terus memperbesar basis pendukungnya ke depan juga semakin sulit mengingat terbatasnya segmen pemilih yang diperebutkan parpol Islam dan berbasis Islam. Sadar akan hal itu, belakangan PKS melakukan transformasi sebagai ”partai terbuka” kendati belum tentu menjadi garansi peningkatan perolehan suaranya dalam pemilu mendatang.

Ambang batas parlemen

Di luar masalah-masalah di atas, parpol Islam dan berbasis Islam kini menghadapi tantangan berat lain, yakni berlakunya mekanisme ambang batas parlemen sebagai syarat bagi parpol untuk mengirimkan wakilnya di DPR. Apakah PPP yang hanya memperoleh 5,32 persen pada Pemilu 2009 masih bisa bertahan jika ambang batas parlemen meningkat dari 2,5 persen saat ini menjadi 3-5 persen seperti diusulkan sebagian parpol?

Terlepas dari soal, apakah PPP bakal tereliminasi atau tidak, yang jelas parpol berbasis agama tetap diperlukan kehadirannya di negeri ini. Parpol Islam dan berbasis Islam bukan sekadar penanda tumbuh suburnya pluralitas politik di Tanah Air. Di atas semua itu, pluralitas keindonesiaan tak ada artinya tanpa keislaman di dalamnya. Namun, perlu dicatat, keindonesiaan yang diperkaya nilai-nilai keislaman tersebut tak akan pernah terwujud jika para petinggi parpol hanya berpikir soal kekuasaan.

Oleh karena itu, muktamar PPP semestinya tak sekadar menjadi ajang perebutan jabatan ketua umum. Muktamar seharusnya menjadi momentum mempertanyakan kembali ketepatan visi dan haluan politik, termasuk kontribusi PPP bagi Indonesia yang sejahtera dan beradab ke depan. Semoga masih ada petinggi PPP dan parpol berbasis Islam lain yang berpikir serius soal-soal seperti ini.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com