Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPP dan Nasib Parpol Islam

Kompas.com - 04/07/2011, 03:30 WIB

Syamsuddin Haris

Dalam rangka persiapan lebih awal menghadapi Pemilu 2014, Partai Persatuan Pembangunan memajukan jadwal muktamarnya pada awal Juli 2011. Masih adakah peluang PPP dan parpol berbasis Islam lainnya untuk merebut dukungan lebih besar dalam pemilu mendatang?

Almarhum Profesor Deliar Noer pernah merumuskan dengan tepat realitas relasi Islam dan politik di negeri ini dengan menyatakan, Islam adalah mayoritas secara sosiologis, tetapi minoritas secara politik. Artinya, meskipun hampir 90 persen rakyat Indonesia merupakan pemeluk Islam, dalam realitas politik hampir selalu dalam posisi minoritas.

Hasil pemilu demokratis pertama pada tahun 1955 menunjukkan, totalitas perolehan suara partai-partai Islam hanya sekitar 43,5 persen. Partai Islam terbesar, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), hanya meraih sekitar 20,92 persen suara, berada di posisi kedua sesudah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memperoleh 22,32 persen.

Pemilu demokratis kedua yang berlangsung setelah era sistem otoriter Orde Baru pada 1999 kembali mengonfirmasi kebenaran tesis Deliar Noer. Keseluruhan perolehan suara parpol Islam dan parpol berbasis Islam bahkan merosot dari pemilu ke pemilu. PPP sebagai salah satu parpol Islam yang masih bertahan merosot terus perolehan suaranya, dari 10,71 persen (1999), 8,15 persen (2004), dan bahkan hingga 5,32 persen (2009).

Haluan politik tak jelas

Selain perbedaan tanda gambar dan warna dasar partai, masyarakat kita yang Muslim, apalagi yang non-Islam, sebenarnya sulit mengenali apa saja sebenarnya perbedaan antara PPP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara formal berasas Islam, serta dua parpol berbasis Islam lain, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sekilas, perbedaan itu memang tampak dalam kampanye pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Perbedaan juga tampak dalam pernyataan politik menjelang dan sesudah berlangsungnya muktamar atau kongres partai.

Namun, selebihnya, ketika partai Islam dan parpol berbasis Islam berinteraksi dalam politik di parlemen dan di dalam pemerintahan, hampir tidak ada dan tak tampak perbedaan haluan politik di antara parpol-parpol tersebut ketika menerima atau menolak suatu kebijakan. Dalam realitas politik, tidak ada kompetisi atas dasar perbedaan haluan politik terkait berbagai rencana kebijakan. Dalam realitas politik, semua partai, termasuk parpol Islam, akhirnya ”berideologi” sama, yakni perjuangan untuk menyelamatkan kepentingan jangka pendek dari setiap parpol.

Islam akhirnya didistorsikan sekadar sebagai ”label” atau kemasan bagi parpol Islam dan parpol berbasis Islam untuk merebut simpati mayoritas sosiologis yang diharapkan bisa diubah menjadi mayoritas politik. Tidak mengherankan jika para pemilih Islam lebih memilih parpol tanpa identitas keagamaan secara formal, atau yang sering diklasifikasikan sebagai parpol ”nasionalis” seperti PNI (pemenang Pemilu 1955), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (1999), Partai Golkar (2004), dan Partai Demokrat (2009).

Saling memangsa

Sebagai parpol Islam tertua dan secara historis merupakan hasil fusi dari Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada 1973, PPP sebenarnya memiliki ”modal politik” untuk bertahan. Namun, modal politik tersebut tidak pernah dikelola secara cerdas. Ketika rezim Orde Baru Soeharto runtuh dan terbuka peluang mendirikan parpol baru menjelang Pemilu 1999, para petinggi PPP gagal menahan euforia pendirian kembali partai-partai Islam yang akhirnya justru saling ”memangsa” satu sama lain.

Faktor lain yang mengakibatkan terus tergerusnya suara parpol Islam dan berbasis Islam adalah kegagalan para pemimpinnya membaca arah perilaku pemilih yang tidak lagi tergoda oleh simbol dan sentimen kultural seperti era 1950-an. Meskipun sebagian pemilih masih mempertahankan loyalitas kultural mereka terhadap parpol Islam dan berbasis Islam, populasinya terus menurun dari pemilu ke pemilu karena hampir tidak ada upaya petinggi partai merawat basis dukungan yang terbatas tersebut.

Tampaknya ”celah” inilah yang dimanfaatkan oleh Partai Keadilan (kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera) yang memperluas basis politiknya melalui sistem kaderisasi yang jelas, terarah, dan terukur.

Namun, peluang PKS untuk terus memperbesar basis pendukungnya ke depan juga semakin sulit mengingat terbatasnya segmen pemilih yang diperebutkan parpol Islam dan berbasis Islam. Sadar akan hal itu, belakangan PKS melakukan transformasi sebagai ”partai terbuka” kendati belum tentu menjadi garansi peningkatan perolehan suaranya dalam pemilu mendatang.

Ambang batas parlemen

Di luar masalah-masalah di atas, parpol Islam dan berbasis Islam kini menghadapi tantangan berat lain, yakni berlakunya mekanisme ambang batas parlemen sebagai syarat bagi parpol untuk mengirimkan wakilnya di DPR. Apakah PPP yang hanya memperoleh 5,32 persen pada Pemilu 2009 masih bisa bertahan jika ambang batas parlemen meningkat dari 2,5 persen saat ini menjadi 3-5 persen seperti diusulkan sebagian parpol?

Terlepas dari soal, apakah PPP bakal tereliminasi atau tidak, yang jelas parpol berbasis agama tetap diperlukan kehadirannya di negeri ini. Parpol Islam dan berbasis Islam bukan sekadar penanda tumbuh suburnya pluralitas politik di Tanah Air. Di atas semua itu, pluralitas keindonesiaan tak ada artinya tanpa keislaman di dalamnya. Namun, perlu dicatat, keindonesiaan yang diperkaya nilai-nilai keislaman tersebut tak akan pernah terwujud jika para petinggi parpol hanya berpikir soal kekuasaan.

Oleh karena itu, muktamar PPP semestinya tak sekadar menjadi ajang perebutan jabatan ketua umum. Muktamar seharusnya menjadi momentum mempertanyakan kembali ketepatan visi dan haluan politik, termasuk kontribusi PPP bagi Indonesia yang sejahtera dan beradab ke depan. Semoga masih ada petinggi PPP dan parpol berbasis Islam lain yang berpikir serius soal-soal seperti ini.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com