Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nazaruddin Tak Ingin Pulang

Kompas.com - 02/07/2011, 02:10 WIB

Jakarta, Kompas - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin memilih tetap berada di Singapura. Ia pun melakukan perlawanan, dengan menyebut sejumlah kader Demokrat yang diduga terlibat kasus korupsi atau menerima suap, dan menyiapkan upaya hukum lain dari Singapura.

Kepastian Nazaruddin tidak pulang itu disampaikan penasihat hukumnya, OC Kaligis, Jumat (1/7), di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. ”Nazaruddin sedang menyiapkan strategi untuk melakukan perlawanan hukum melalui pengadilan di Singapura,” ujarnya.

Nazaruddin, Kamis, ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek wisma atlet SEA Games tahun 2011 di Palembang, Sumatera Selatan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanggal 21 April lalu, KPK menangkap (mantan) Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, dan Manajer PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El-Idris karena diduga terlibat kasus suap proyek wisma atlet. PT DGI adalah pemenang proyek wisma atlet. Nazaruddin tercatat sebagai pendiri PT Anak Negeri.

Selain upaya hukum, Nazaruddin juga melawan dengan melemparkan tuduhan kepada kader Demokrat yang menerima uang suap sebesar Rp 9 miliar, seperti disampaikan Kaligis.

Kaligis menunjukkan komunikasi dengan Nazaruddin lewat Blackberry Messenger (BBM). Dalam BBM itu, Nazaruddin menuliskan ada uang Rp 9 miliar yang diserahkan Wafid kepada anggota DPR melalui seseorang bernama Paul. Uang itu diteruskan kepada anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), I Wayan Koster, serta anggota Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Angelina Sondakh, dan kepada Mirwan Amir. Uang itu mengalir sebagian kepada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng. Tuduhan Nazaruddin itu disangkal oleh mereka yang disebutkan.

Kaligis mengakui, sistem hukum di Singapura memungkinkan warga negara asing mencari keadilan apabila di negaranya diduga terjadi praktik pengadilan yang tidak adil. ”Nazaruddin yakin tak akan terjadi pengadilan yang fair karena ia sudah terlebih dulu menjadi korban pembunuhan karakter,” katanya.

Tangkap Nazaruddin

Di Jakarta, Jumat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo untuk segera menangkap dan membawa pulang Nazaruddin ke Tanah Air. Timur juga diperintahkan berkoordinasi dengan KPK untuk memulangkan Nazaruddin.

Demikian diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Istana Negara.

Perkara dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin yang ditangani KPK, kata Julian, selama ini belum melibatkan Polri. Setelah KPK menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka, Presiden langsung memerintahkan Timur untuk berkoordinasi dengan KPK untuk memenuhi kelengkapan berkas maupun argumentasi hukum yang digunakan untuk proses pemulangan itu.

Meskipun kedua negara belum mempunyai perjanjian ekstradisi, Indonesia yakin sebagai negara yang bersih dan menghormati hukum, Singapura akan membantu pencarian dan pemulangan Nazaruddin. Julian juga menegaskan, Presiden Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, memiliki sikap tegas, semua kader partainya harus benar-benar bersih dan tidak terkait kasus hukum apa pun.

”Siapa pun kader Partai Demokrat, oleh Ketua Dewan Pembina, apabila terseret dan terbukti bersalah secara hukum harus diproses hukum. Tak ada tebang pilih,” kata Julian.

KPK bisa memaksa

Wakil Ketua KPK M Jasin dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, menegaskan, KPK bisa memaksa Nazaruddin untuk pulang dari Singapura karena telah ditetapkan menjadi tersangka kasus suap proyek wisma atlet. ”Pemahaman kami, jika sesuatu bisa dilakukan projustisia, upaya paksa itu dilakukan setelah yang bersangkutan ditetapkan menjadi tersangka,” kata dia lagi.

Saat ditanya apakah KPK meminta pencabutan paspor atas nama Nazaruddin, Jasin belum bisa memastikan. Namun, menurut dia, KPK berusaha maksimal untuk memulangkan Nazaruddin.

”Pencabutan paspor dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengacu pada prosedur hukum yang ada, kalau seseorang dalam status tersangka,” ujarnya.

Secara terpisah, Jumat, Herawan Sukoaji dari Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mengutarakan, paspor milik Nazaruddin sudah dicabut sejak 24 Mei lalu. Penarikan paspor itu otomatis dilakukan sejak ia dicegah ke luar negeri. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Keimigrasian.

Namun, Herawan mengakui, Imigrasi tidak memegang paspor Nazaruddin secara fisik. Imigrasi berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan posisi Nazaruddin setelah ia dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK.

Jasin menambahkan, KPK juga bekerja sama dengan sejumlah lembaga lain dalam upaya pemulangan Nazaruddin.

Dua opsi

Secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, pasca-penetapan Nazaruddin sebagai tersangka, KPK memiliki dua opsi untuk menghadirkannya. Pertama, melalui mekanisme ekstradisi dan kedua, melalui deportasi.

Untuk ekstradisi, ada dua cara yang dapat dilakukan KPK. Pertama, meminta Polri untuk menerbitkan pencarian secara internasional (red notice) untuk Nazaruddin. Kedua, KPK meminta Menteri Hukum dan HAM melayangkan surat permintaan ekstradisi untuk Nazaruddin kepada Pemerintah Singapura.

Sebaliknya, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie di Jakarta, Jumat, menilai kasus Nazaruddin adalah soal hukum yang semestinya diberlakukan sama dengan kasus lainnya. Marzuki berharap KPK tidak membuat negara ini ”penuh” hanya dengan Nazaruddin.

(WHY/RAY/FAJ/ETA/ANA/BIL/DIK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com