Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas Perempuan Surati Raja Arab Saudi

Kompas.com - 27/06/2011, 15:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, menyatakan, pihaknya akan menyurati Raja Arab Saudi untuk meminta negara kerajaan itu mengembalikan jenazah tenaga kerja Indonesia, Ruyati, yang telah dipancung pada 18 Juni 2011. Hal ini ia sampaikan kepada anak Ruyati, Een Nuraini yang mendatangi kantor Komnas Perempuan, Senin (27/6/2011).

"Komnas Perempuan akan mengirimkan surat resmi kepada KBRI dan Raja Arab Saudi untuk mengembalikan jenazah Ibu Ruyati. Pada prinsipnya, apa yang dialami oleh Ibu Ruyati ini adalah kasus kesekian. Masih ada jumlah lainnya. Kami juga akan menyurati raja untuk pengampunan bagi mereka," ujar Yuniyanti di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta.

Selain itu, ia juga akan memberikan beberapa surat kepada Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta BNP2TKI untuk membantu mengusahakan pemulangan jenazah Ruyati. Selain itu, Komnas Perempuan juga mempertanyakan tanggung jawab pemerintah atas proses hukum Ruyati, dengan meminta surat putusan pengadilan Arab Saudi atas Ruyati dan penjelasan jalannya proses hukum itu secara resmi.

"Kita akan meminta KBRI untuk memberi surat proses pengadilan (pengadilan Ruyati). Hak korban adalah untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. Keluarga punya hak untuk mendapatkan kembali jenazah korban dan paling tidak informasi status jenazah di mana dan bagaimana dipulangkan. Hak korban dan keluarga juga harus mendapat surat resmi tentang eksekusi tersebut. Pemerintah harus memberikan penjelasan yang jelas. PRT berjuang sendiri di sana," tegas Yuniyanti.

Dalam kesempatan itu, ia pun menegaskan, pemerintah harus jeli melihat mengapa TKI sering kali dirundung masalah yang berakibat pada pembunuhan. Menurut dia, para tenaga kerja yang mayoritas perempuan itu membela diri karena mereka sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari majikan.

"Dari seluruh pemantauan Komnas Perempuan. Korban-korban yang akhirnya mendapat hukuman mati karena mereka membela diri. Mereka sering mendapat kekerasan dan pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan secara psikologis. Selama ini, TKI selalu distigmasasi bahwa para TKI sadis-sadis melakukan kekerasan, padahal tidak. Ini yang harus kita bela. Mereka melakukan demikian karena membela diri," tuturnya.

Tak hanya itu, lanjut Yuniyanti, Komnas Perempuan juga meminta pemerintah melakukan upaya tak sebatas pada pemulangan TKI, tapi juga memperhatikan nasib selanjutnya dari para TKI yang dipulangkan. Terutama mereka yang dipulangkan setelah mendapatkan kekerasan.

"Harus juga dipikirkan soal rehabilitasi, kompensasi dan pemulihan terutama untuk PRT migran yang kembali dengan cacat ditubuhnya maupun TKI yang meninggal. Keluarganya bisa mendapat jaminan, apalagi jika mereka (TKI yang meninggal atau cacat) adalah yang menjadi tulang punggung keluarga, harus mendapatkan haknya. Ini menjadi tanggung jawab negara," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Nasional
    Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com