JAKARTA, KOMPAS.com — Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi semula tidak mengetahui TKI asal Indonesia, Rosita Siti Saadah (29), telah bebas dari penjara Fujariah dan kembali ke Indonesia. Rosita mendekam di tahanan Fujariah selama 20 bulan karena dituduh bersekongkol membunuh rekannya dan berpacaran dengan anak majikannya di Emirat Arab pada 15 Oktober 2009. Dia dibebaskan pada 11 Juni 2011 dan tiba di Indonesia keesokan harinya.
"Pada 14 Juni kita lapor ke Kemenlu, Pak Tatang (Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri, Tatang Budi Utama Razak) menelepon Konjen di sana, di loudspeaker (pengeras suara), ditanya Rosita di mana, dijawab "di tahanan". Padahal Rosita sudah di Indonesia," ujar Staf Penanganan Kasus Buruh Migran Solidaritas Perempuan, Vicky Sylvanie, yang mendampingi Rosita dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (23/6/2011).
Pembebasan Rosita tersebut, kata Vicky, tidak terduga. Sebab, proses persidangan kasus persekongkolan pembunuhan yang dituduhkan kepada Rosita itu belum mencapai vonis. Rosita baru diputus bersalah karena terbukti berpacaran dengan anak majikannya sehingga harus dipenjara selama enam bulan. Ketidakjelasan status hukum Rosita tersebut dilaporkannya ke Kemenlu.
"Pak Tatang bilang, akan membuat pernyataan resmi ke Emirat agar diberi penjelasan mengapa Rosita disuruh pulang," lanjut Vicky.
Vicky menilai, kasus Rosita ini dapat menjadi gambaran buruknya koordinasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi. "Untung enggak tahu dia (Rosita) pulang. Kalau enggak tahu dia dipancung?" katanya.
Terlebih, lanjut Vicky, KBRI juga lambat mengetahui bahwa Rosita telah dijebloskan ke penjara dan akan menjalani proses persidangan. Menurut keterangan Rosita, KBRI baru mendampinginya di persidangan setelah dia setahun mendekam dalam tahanan.
"Pas sidang keempat, baru ada pendamping dari KBRI. Karena saya belum paham bahasa Arab, saya minta penerjemah dan pengacara," kata Rosita.
Vicky melanjutkan, pendampingan penerjemah dan kuasa hukum dari KBRI selama di persidangan juga dinilai tidak efektif. Sebab, Rosita tidak dapat berkomunikasi dengan pihak KBRI.
"Penerjemahnya laki-laki, jadi di luar sidang enggak boleh tanya-tanya, ngobrol-ngobrol lagi. Kalau mau tanya-tanya, harus telepon, dan itu butuh uang," papar Vicky.
Rosita juga menjelaskan, selama di tahanan dia bertemu dengan buruh migran asal Indonesia lainnya yang juga terlibat tindak pidana. Mereka, katanya, umumnya terjerat tuduhan "berpacaran".