Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggali Pancasila dalam Penanda Baru

Kompas.com - 27/05/2011, 04:16 WIB

Pascareformasi, Indonesia bertekuk lutut di bawah sistem ekonomi neoliberal. Lebih dari 70 persen sektor strategis, seperti pertambangan dan energi, dikuasai pemodal asing. ”Semakin liberal sistem ekonomi kita, semakin besar ancaman radikalisme agama,” ujar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imam Aziz.

Sebagai catatan, jumlah kebijakan diskriminatif mengatasnamakan moralitas agama meroket enam tahun terakhir, mencapai 189 kebijakan di tingkat nasional pada akhir 2010. Yudi Latif menyebut, 79 undang-undang bertentangan dengan Pancasila.

Terus diguncang

Rezim Orde Baru hanya mengakui lima agama, kemudian ditambah Konghucu sebagai agama resmi meski semua agama yang masuk ke Indonesia mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.

Menurut Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religion and Peace, terdapat lebih dari 11 juta penganut lebih dari 300 ajaran leluhur yang tersebar di berbagai pelosok, seperti Sunda Wiwitan, Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Sumatera Utara), Kaharingan (Kalimantan), dan To Lottang (Sulawesi Selatan). Ajaran terpentingnya adalah menyelaraskan hubungan manusia dengan alam, manusia lain, dan Sang Pencipta, siapa pun namanya.

Namun, ajaran leluhur tak diakui sebagai agama. Penganutnya dimasukkan ke dalam golongan penghayat kepercayaan. Identitas agama mereka di kartu tanda penduduk dimasukkan ke dalam agama resmi. Menolak berarti kehilangan hak sebagai warga negara.

”Penganut agama To Lottang harus menjadi Hindu setelah peristiwa 1965 karena dikira dekat dengan agama Hindu, padahal sebenarnya beda,” ujar Nurhayati, ahli filologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ketika terjadi ontran-ontran politik, seperti zaman DI/TII, pemuka ajaran leluhur, seperti bissu di Sulawesi Selatan, menjadi sasaran karena dianggap sebagai penyembah berhala. Hal sama terulang pada 1965, bissu dianggap anggota PKI karena dianggap tak beragama.

Setelah reformasi, ideologi Pancasila diguncang lagi melalui prosedur demokrasi yang disabot untuk kembali memasukkan ideologi agama sebagai ideologi negara. Laporan Demos 2007 memperlihatkan, identitas agama lebih mengemuka daripada identitas lain sebagai warga bangsa.

Lalu, di mana Pancasila kita?

Kalau kita percaya gagasan yang menopang dan menguatkan peradaban besar itu adalah Pancasila, nilai-nilainya hanya bisa terwujud apabila kita meyakininya, setia kepadanya, serta memiliki keberanian dan stamina untuk menghidupinya.

Untuk itu, kebebasan spirit manusia harus bersemayam di dalam pikiran dan hati setiap warga negara agar potensinya berkembang dan martabatnya sebagai manusia dikuatkan. Beranikah kita? (MH/HAR/NMP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com