Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggali Pancasila dalam Penanda Baru

Kompas.com - 27/05/2011, 04:16 WIB

No nation can achieve greatness unless it believes in something and unless that something has the moral dimensions to sustain a great civilization.... (Tak ada bangsa yang dapat mencapai kebesarannya jika bangsa itu tidak meyakini sesuatu dan sesuatu yang tidak diyakininya memiliki dimensidimensi moral untuk menopang peradaban besar….)

Bukan tanpa alasan kalau Yudi Latif dalam buku terbarunya, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011), mengutip potongan kutipan John Gardner (1992), cendekiawan Amerika Serikat.

Dalam buku itu, Yudi, ilmuwan sosiologi politik lulusan Australian National University, membahas rumitnya proses yang melibatkan golongan kebangsaan sekuler dan kebangsaan Islam dalam pembentukan lima sila dalam Mukadimah UUD 1945 berikut rinciannya dalam Batang Tubuh UUD 1945. Pada 1 Juni, hari lahir Pancasila kembali diperingati dan inilah kesempatan memaknai Pancasila dalam penanda baru yang substansial.

Pembahasan itu menarik karena bertolak dari asumsi tentang masyarakat majemuk yang, meminjam istilah Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), terbentuk dari lapis-lapis masyarakat dalam geologi kebudayaan.

Struktur jaringan perdagangan Asia yang rumit telah membentuk kebudayaan Indonesia yang tak hanya dipengaruhi Barat, tetapi juga budaya India, Islam, dan China serta resistensi budaya lokal. Kesalingsilangan itu menghasilkan produk kebudayaan, mulai dari pakaian, desain kain (batik, tenun), sampai arsitektur.

Di negeri yang terdiri dari tebaran pulau dan kepulauan yang jumlahnya sekitar 17.000 pulau dengan sedikitnya 500 suku itu, ideologi yang paling dimungkinkan adalah yang didasarkan pada masyarakat dan kebudayaannya yang multikulturalis.

Seperti diyakini Asep Abas (42), penganut ajaran leluhur Sunda Wiwitan dari Kampung Cirendeu, Cimahi, dan panitren, yakni penghubung dalam masyarakat adat Sunda Wiwitan dengan orang luar komunitas itu. Sebelum melahirkan Pancasila, para pendiri bangsa pasti sudah memahami suku-suku di Nusantara, meyakini adanya Sang Pencipta, apa pun penyebutannya.

Tak selesai

Namun, realitas historis memperlihatkan, masalah ideologi belum selesai setelah tahun 1945. Pertarungan antara golongan pro-pembaratan dan anti-pembaratan—menurut pandangan Denys Lombard—atau antara golongan kebangsaan sekuler dan kebangsaan agama selalu muncul kembali dalam berbagai situasi semasa Orde Baru dan kemudian juga selepas reformasi 1998.

Rezim pembangunanisme bekerja di berbagai lini kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pancasila dikerdilkan menjadi jargon melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bersamaan dengan melebarnya jurang kelas sosial dalam sistem ekonomi kapitalistis rezim Orde Baru.

Pascareformasi, Indonesia bertekuk lutut di bawah sistem ekonomi neoliberal. Lebih dari 70 persen sektor strategis, seperti pertambangan dan energi, dikuasai pemodal asing. ”Semakin liberal sistem ekonomi kita, semakin besar ancaman radikalisme agama,” ujar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imam Aziz.

Sebagai catatan, jumlah kebijakan diskriminatif mengatasnamakan moralitas agama meroket enam tahun terakhir, mencapai 189 kebijakan di tingkat nasional pada akhir 2010. Yudi Latif menyebut, 79 undang-undang bertentangan dengan Pancasila.

Terus diguncang

Rezim Orde Baru hanya mengakui lima agama, kemudian ditambah Konghucu sebagai agama resmi meski semua agama yang masuk ke Indonesia mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.

Menurut Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religion and Peace, terdapat lebih dari 11 juta penganut lebih dari 300 ajaran leluhur yang tersebar di berbagai pelosok, seperti Sunda Wiwitan, Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Sumatera Utara), Kaharingan (Kalimantan), dan To Lottang (Sulawesi Selatan). Ajaran terpentingnya adalah menyelaraskan hubungan manusia dengan alam, manusia lain, dan Sang Pencipta, siapa pun namanya.

Namun, ajaran leluhur tak diakui sebagai agama. Penganutnya dimasukkan ke dalam golongan penghayat kepercayaan. Identitas agama mereka di kartu tanda penduduk dimasukkan ke dalam agama resmi. Menolak berarti kehilangan hak sebagai warga negara.

”Penganut agama To Lottang harus menjadi Hindu setelah peristiwa 1965 karena dikira dekat dengan agama Hindu, padahal sebenarnya beda,” ujar Nurhayati, ahli filologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ketika terjadi ontran-ontran politik, seperti zaman DI/TII, pemuka ajaran leluhur, seperti bissu di Sulawesi Selatan, menjadi sasaran karena dianggap sebagai penyembah berhala. Hal sama terulang pada 1965, bissu dianggap anggota PKI karena dianggap tak beragama.

Setelah reformasi, ideologi Pancasila diguncang lagi melalui prosedur demokrasi yang disabot untuk kembali memasukkan ideologi agama sebagai ideologi negara. Laporan Demos 2007 memperlihatkan, identitas agama lebih mengemuka daripada identitas lain sebagai warga bangsa.

Lalu, di mana Pancasila kita?

Kalau kita percaya gagasan yang menopang dan menguatkan peradaban besar itu adalah Pancasila, nilai-nilainya hanya bisa terwujud apabila kita meyakininya, setia kepadanya, serta memiliki keberanian dan stamina untuk menghidupinya.

Untuk itu, kebebasan spirit manusia harus bersemayam di dalam pikiran dan hati setiap warga negara agar potensinya berkembang dan martabatnya sebagai manusia dikuatkan. Beranikah kita? (MH/HAR/NMP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com