Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila Kita

Kompas.com - 14/05/2011, 04:48 WIB

SEA Games merupakan wadah mempererat tali kekeluargaan ASEAN dan tahun ini kita menjadi Ketua ASEAN yang baru saja ber-KTT. Akhir tahun ini kita dapat kehormatan menjamu para pemimpin East Asia Summit (ASEAN plus AS, Rusia, India, Jepang, China, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru). Apa kita enggak malu mengorupsi persiapan SEA Games?

Apa sumber penyakit oxymoronology ini? Kalau merujuk pada teori, sumbernya kemunafikan. Para pemimpin, pejabat, dan politisi sudah terbiasa asal bicara muluk, tetapi kurang mampu melakukannya. Apa yang dilakukan orang-orang yang di atas itu, sengaja atau tidak, ditiru rakyat.

Ingat Pak Harto suka mengucapkan kata ”daripada”? Ternyata kata sakti itu ditiru menteri, jenderal, gubernur, lurah, akademisi, mahasiswa, sampai siswa SD. Setelah Pak Harto lengser ing keprabon, tak ada lagi yang ngomong ”daripada”. Pak SBY suka ucapkan kata ”terukur” yang sempat tenar ditiru para anak buahnya walau kini jarang terdengar.

Ketika orang-orang di atas gemar ”lain kata lain perbuatan” dan ulah mereka ditiru rakyat yang menganut prinsip patron-client (bapak-anak buah), kita dalam bahaya. Oxymoron makin banyak: ”moral politik” jadi ”politik uang”, ”wakil rakyat” jadi ”musuh rakyat”, ”olahraga” jadi ”olahotot”, ”rumah sakit” jadi ”rumah penyakit”, dan seterusnya.

Apa obatnya? Kita beruntung, terkuak fakta anak-anak kita tak lagi diajarkan Pancasila. Mungkin ini salah satu alasan mengapa kita munafik, menganggap ideologi barang hafalan tanpa meresapi maknanya yang amat dalam. Itulah sumber kehidupan yang jika dipelajari dan dipraktikkan membuat kita bermartabat.

Kita tak lagi punya pegangan hidup alias asal-asalan saja. Kita seperti tak berpakaian lagi, berlaku sembarangan, masa bodoh dengan lingkungan, tidak toleran, dan main tabrak aturan. Jangan heran ada ormas yang menggertak mau mendongkel pemerintah atau mendirikan negara dalam negara. Ibaratnya kita anak di bawah umur menyetir dalam keadaan mabuk.

Memang sekilas Pancasila hanya gombal-gombalan pada zaman globalisasi ini. Namun, setiap bangsa merdeka butuh kebajikan-kebajikan (virtues) yang dirumuskan the founding fathers. Mana ada bangsa tanpa ideologi? Bahkan, Singapura saja mencontoh Pancasila ketika merumuskan ideologinya pada 1990-an.

Sebaiknya Pancasila kembali diwajibkan lagi sebagai mata pelajaran SD. Lebih drastis lagi, hentikan dulu amandemen UUD 1945 yang sudah kebablasan setelah dilakukan empat kali sejak reformasi. Jika perlu, kita kembali lagi ke naskah asli UUD 1945. Semoga saja semuanya belum terlambat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com