Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lamunan dan Mimpi Buruk

Kompas.com - 04/05/2011, 04:17 WIB

Sebagai kelompok yang gigih memperjuangkan hak, buruh selalu dihadapkan pada realitas mimpi buruk: aturan dan kebijakan pemerintah cenderung dijalankan tanpa visi perlindungan terhadap hak buruh. Ini bisa dinilai dari upaya pemerintah melucuti hak-hak buruh melalui hukum perburuhan yang mengadopsi konsep kelenturan pasar tenaga kerja dalam bentuk kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK), perluasan sistem kontrak dan outsourcing, kelenturan upah dan jaminan sosial, serta kelenturan jam kerja.

Kebijakan upah minimum telah membuat kesejahteraan semakin jauh dari jangkauan buruh. Meski upah minimum tiap tahun direvisi, tak ada kenaikan upah riil bagi buruh karena kenaikan upah lebih rendah dari kenaikan harga barang dan jasa.

Sejak UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku, buruh kian rentan kena PHK, haknya kian berkurang, dan keberlangsungan kerjanya kian tak terjamin akibat kemudahan PHK, perluasan sistem kontrak, dan legalisasi praktik outsourcing.

UU Ketenagakerjaan telah mempersempit ruang gerak buruh, sementara UU Serikat Pekerja dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga berandil memperlemah posisi tawar buruh. Kebijakan pemerintah selama ini tak memperhitungkan buruh sebagai kelompok miskin sehingga buruh tak tersentuh kebijakan mengatasi kemiskinan. Padahal, dalam sistem ekonomi yang kian liberal, posisi buruh kian rentan jatuh miskin atau makin miskin.

Melanggar konstitusi

Hasil kajian Forum Pendamping Buruh Nasional menunjukkan, pada 2003 di Jawa Timur tercatat hanya 7 persen buruh berstatus kontrak. Pada 2006 proporsi buruh berstatus kontrak meningkat menjadi 68 persen. Pada tahun yang sama 62,6 persen buruh di 91 perusahaan di Jawa Barat berstatus kontrak. Bisa dilihat, dalam waktu singkat buruh mengalami pemiskinan, tetapi tak tersentuh kebijakan.

Adapun menurut data Jamsostek 2010, dari sekitar 31 juta buruh formal, hanya sekitar 9 juta buruh atau 27 persen yang diikutkan program Jamsostek. Ini berarti 73 persen buruh rentan jatuh miskin ketika sakit. Jangankan buruh yang tak diikutkan Jamsostek, buruh peserta Jamsostek saja mudah jatuh miskin oleh tak memadainya skema Jamsostek dalam memberikan perlindungan bagi buruh.

Ketika buruh jatuh miskin atau semakin miskin, tak ada ske- ma bantuan bagi mereka karena buruh tak termasuk dalam kelompok miskin. Kelompok miskin bisa mendapatkan BLT atau raskin, tetapi buruh yang jatuh miskin tak berhak atas bantuan.

Satu-satunya harapan buruh bisa memperbaiki nasib adalah pelaksanaan sistem jaminan sosial sesuai dengan amanat konstitusi

yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.

Kalau pemerintah SBY tak juga menjalankan sistem jaminan sosial, tak salah bila buruh menilai pemerintah SBY melanggar konstitusi. Tak salah juga bila era pemerintahan SBY dicatat sebagai era inflasi janji dan tumpukan lamunan. Rakyat tak akan melupakan janji pemerintah SBY: swasembada pangan, reforma agraria, pembangunan 1.000 rumah susun, pembangunan jalan tol sepanjang 340 km per tahun, dan janji-janji lain yang sampai kini belum terealisasi.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com