Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluarga Besar Terorisme

Kompas.com - 02/05/2011, 16:16 WIB

Hasibullah Satrawi

Terorisme masih menjadi persoalan serius bagi bangsa ini. Bukannya selesai, terorisme justru mengalami perkembangan pesat beberapa waktu terakhir.

Hal ini terlihat dari penggunaan modus baru oleh kelompok teroris mutakhir, seperti bom buku dan menjadikan masjid sebagai target aksi. Bahkan, kelompok teroris juga menjajaki kemungkinan penyerangan terbuka seperti menggunakan roket bom untuk menjangkau sasaran dari jarak yang jauh.

Kondisi di atas menimbulkan pertanyaan besar mengingat aparat kepolisian sejauh ini telah melakukan banyak hal untuk menumpas jaringan terorisme di republik ini. Bahkan, prestasi kepolisian melawan para teroris telah mendapatkan banyak apresiasi dari negara luar. Tetapi, kenapa terorisme masih bertahan bahkan berkembang pesat?

Dalam hemat saya, hal ini tidak bisa dilepas dari peran ”keluarga besar” terorisme. Keluarga besar inilah yang selama ini melindungi dan menjadikan te- rorisme terus berkembang subur mengikuti pola regenerasi mati satu tumbuh seribu.

Setidaknya ada tiga kelompok yang menjadi keluarga besar terorisme selama ini. Pertama, kelompok masyarakat yang hampir identik dengan anarkisme. Kedua, kelompok agamisme secara politik yang anti terhadap Pancasila. Ketiga, kelompok politik pragmatis.

Ormas anarkis

Laporan akhir tahun 2010 yang dikeluarkan Moderate Muslim Society (MMS) menunjukkan bahwa kelompok masyarakat adalah pihak yang paling sering melakukan kekerasan dan intoleransi. Dari 81 kasus intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2010, 33 di antaranya dilakukan oleh kelompok masyarakat.

Temuan MMS di atas tidak jauh berbeda dengan temuan kepolisian. Dalam rapat gabungan Komisi II, III, dan VIII DPR, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri melansir data aksi kekerasan yang semakin menanjak tajam. Dari 10 aksi kekerasan pada tahun 2007 dan 8 aksi kekerasan pada 2008 menjadi 40 aksi kekerasan pada tahun 2009 dan 49 aksi kekerasan pada 2010 (Kompas, 31/8/2010). Kapolri berpandangan, ormas-ormas yang bermasalah dan melakukan kekerasan seharusnya dibekukan.

Banyak pihak menyayangkan sikap tegas mantan Kapolri di atas. Di satu sisi karena sikap tegas seperti ini baru disampaikan pada saat yang bersangkutan sudah menjelang pensiun. Di sisi lain karena Kapolri baru justru menyatakan akan memberdayakan kelompok ormas yang hampir identik dengan kekerasan tersebut. Betapa membingungkan!

Dari segi level, anarkisme oleh kelompok masyarakat radikal berada persis di bawah terorisme. Bila terorisme acap melakukan pembunuhan massal dan tidak pilah-pilih korban, anarkisme tidak sampai membunuh secara massal dan korbannya lebih terfokus pada kelompok tertentu.

Para pelaku anarkis pun berada persis di bawah para teroris. Bila teroris menjalankan aksi berdarahnya atas nama ajaran peran dan mati syahid, kaum anarkis menjalankan aksinya atas nama dakwah dan amar-makruf nahi-mungkar. Bila para teroris bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain, para pelaku anarkis justru selama ini dibiarkan bebas menyebarkan ajaran-ajaran kekerasannya.

Bom bunuh diri oleh Muhammad Syarif di masjid Mapolresta Cirebon beberapa waktu lalu bisa menjadi salah satu bukti dari apa yang disampaikan di atas. Menurut catatan sejumlah media, Syarif diketahui sering terlibat aktif dalam aksi-aksi demo bersama kelompok masyarakat yang selama ini identik dengan aksi kekerasan.

Kelompok agamisme

Agamisme dalam tulisan ini adalah gerakan yang hendak mengubah Indonesia sebagai negara Pancasila menjadi negara agama. Gerakan ini bercorak keagamaan, baik yang berada di pinggiran perhatian banyak pihak (bahkan acap tak terlihat) ataupun gerakan politik yang kasatmata dan beradaptasi sedemikian rupa dengan prinsip-prinsip demokrasi. Maka mereka leluasa mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat dan masuk ke parlemen ataupun pemerintahan.

Dilihat dari segi tujuan, hampir tidak ada bedanya antara para teroris, para anarkis, dan para agamis. Mereka sama-sama ingin mendirikan negara agama. Bedanya adalah para teroris dan para anarkis menggunakan cara-cara biadab seperti pengeboman, bom bunuh diri, perusakan fasilitas umum, dan lain sebagainya. Sedangkan para agamis secara umum menggunakan cara-cara yang lebih elegan, seolah-olah demokratis dan konstitusional.

Selama ini agamisme bergerak dengan menempuh dua jalur perjuangan sekaligus, yakni jalur daerah melalui peraturan daerah dan jalur pusat melalui perundang-undangan maupun isu-isu nasional. Sebagaimana dimaklumi bersama, saat ini banyak perda yang memendam semangat agama dengan menggunakan ketentuan normatif agama tertentu sebagai peraturan daerah.

Agamaisasi perda dilakukan karena dianggap sebagai jalan pintas untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama. Ibarat strategi semut memakan gula, mereka melakukannya dari pinggir (tidak dari pusat atau tengah) hingga akhirnya termakan semua atau setidaknya bisa dibawa ke sarang mereka.

Namun, strategi dari pusat bukan berarti ditinggalkan sama sekali. Beberapa dari mereka terus mengupayakan Indonesia sebagai negara agama dengan dimulai dari pusat, bahkan juga dengan memanfaatkan kelonggaran demokrasi dan keadilan konstitusi.

Pada galibnya, kelompok pragmatis bukan berpedoman pada penalaran rasional-substansial, melainkan berpedoman kepada penalaran emosional dengan logika ”yang penting menyerang dan mengalahkan lawan”. Baik mereka yang berada di jajaran pemerintah, DPR, ataupun partai politik.

Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi bila persoalan mati-hidup seperti terorisme, anarkisme, dan agamisme ditanggapi dengan semangat pragmatis seperti di atas. Padahal, semua ini merupakan ancaman yang sangat nyata bagi bangsa ini.

Inkonsistensi

Dinginnya sikap DPR dan inkonsistensi pemerintah untuk menindak tegas para pelaku anarkis menjadi salah satu bukti paling nyata dari keberadaan kelompok pragmatis ini.

Dalam menghadapi persoalan krusial (tetapi berpotensi merusak citra) seperti anarkisme, kelompok politik pragmatis kerap diam seribu bahasa. Bandingkan dengan sikap mereka yang tampak begitu ngotot dalam menghadapi persoalan lezat seperti skandal Bank Century.

Di saat para elite bangsa sibuk bersolek demi citra dan kepentingan pragmatis mereka, keluarga besar terorisme terus bergerak secara rapi untuk mencari peluang sekecil apa pun. Maka mereka pun bisa kembali melancarkan aksinya masing-masing dan mewujudkan cita-cita bersama, yaitu mengubah Indonesia sebagai negara Pancasila menjadi negara agama.

Terorisme harus terus diperhatikan. Sebagaimana keluarga besar terorisme juga tidak dapat diabaikan. Memberantas terorisme harus dilakukan juga dengan membubarkan keluarga besarnya. Hingga tak ada lagi tempat bagi mereka untuk bersembunyi, berlindung, dan menyusun kekuatan baru.

Hasibullah Satrawi Kader Muda NU, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com