Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi dan "KeledaI" Sufi

Kompas.com - 25/04/2011, 03:14 WIB

Kisah ”sang keledai”

Dalam konteks inilah kemudian menjadi relevan untuk menyimak sebuah kisah dalam dunia sufi, yaitu cerita mengenai Timur Lenk: keledai dan seorang sufi bernama Nasruddin Hoja.

Alkisah, pada suatu masa, Timur Lenk menghadiahkan seekor keledai kepada Nasruddin Hoja. Pemberian itu disertai permintaan aneh supaya sang sufi mengajari sang keledai membaca. Dua minggu setelah waktu pemberian, Nasruddin diminta mendemonstrasikan kemampuan membaca si keledai.

Nasruddin Hoja tidak menampik permintaan aneh itu, dan membuktikannya dengan membawa keledai tersebut ke hadapan Timur Lenk dua minggu setelahnya. Di depan Timur Lenk, pada saat disodori sebuah buku, keledai tersebut mulai membalik-balik halaman buku dengan lidahnya. Lembar demi lembar halaman buku dihabisinya. Setelah itu Nasruddin berkata, ”Keledaiku sudah bisa membaca.”

Karena penasaran, Timur Lenk bertanya, ”Bagaimana caramu mengajarinya membaca?” Nasruddin bertutur, ”Di rumah aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membuka-buka halaman untuk menikmati biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih melakukan itu semua.”

Mendengar penjelasan Nasruddin Hoja, Timur Lenk memprotes: ”Bukankah keledai itu binatang bodoh yang tidak mengerti apa yang dibacanya?” Dengan dingin, Nasruddin menanggapinya, ”Memang demikianlah cara keledai membaca, hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?”

Draf RUU Tipikor memang dirancang oleh ahli hukum yang berotak ”keledai”, dan karenanya kerancuan substansinya meng- undang reaksi dari publik. Namun, yang mengejutkan, draf tersebut ternyata adalah RUU versi pemerintah. Lantaran mendapat reaksi luar biasa dari publik, proses pengusulannya pun akhirnya dicabut. Ini menunjukkan satu hal: walaupun secara substansi draf tersebut diotaki ”keledai”, tetapi dalam tipu muslihat proses legislasinya bisa jadi diskenariokan dengan canggih. Buktinya, draf itu sempat ”dinobatkan” sebagai RUU Tipikor versi pemerintah.

Maka, pelajaran moralnya jelas: selain memastikan sikap penolakan yang tegas terhadap draf RUU Tipikor produk otak ”keledai”, publik tetap perlu waspada. Walaupun sudah dicabut, bukan berarti itu akhir dari segalanya. Bisa jadi setelah RUU Tipikor, berikutnya yang akan disisir adalah UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor.

Kiranya, ”sindiran” Nasruddin Hoja terasa relevan untuk direnungkan: sekali sebuah ketololan dibiarkan, maka ia akan menjadi rangkaian ketololan yang pada akhirnya akan menggiring kita semua berada pada situasi buruk yang merugikan.

Hasrul Halili Dosen Fakultas Hukum UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com