Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsolidasi Demokrasi Tak Terwujud Setelah 13 Tahun

Kompas.com - 07/04/2011, 02:57 WIB

Jakarta, Kompas - Konsolidasi demokrasi tidak juga terwujud setelah hampir 13 tahun reformasi politik digulirkan di Indonesia. Setiap menjelang pemilihan umum selalu dibahas peraturan perundang-undangan soal politik. Namun, debat yang terjadi sama sekali tidak substansial dan hanya menyangkut urusan sepele.

Demikian diutarakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego, dalam diskusi tentang ”Penataan Sistem Politik Nasional” yang diadakan Yayasan Katalis di Jakarta, Rabu (6/4). Ia mengatakan, lembaga politik dan sosial memang bermunculan pascareformasi. Namun, tidak berarti pelembagaan demokrasi termasuk di dalamnya.

Indria mencontohkan, pada tataran negara muncul peraturan yang memperkuat posisi lembaga perwakilan rakyat. Hak dan wewenang lembaga perwakilan rakyat ditingkatkan dan dieksplisitkan dalam rangka membangun fungsi check and balances, sesuatu yang tidak ada selama pemerintahan Orde Baru.

Akan tetapi, lanjut Indria, yang ada sampai hari ini justru suara negatif terhadap DPR dan DPRD muncul di mana-mana. Rakyat malah mengecam lembaga yang mewakilinya. ”Perubahan politik dari otoritarianisme ke demokrasi tidaklah berlangsung secara cepat dan bebas dari faktor di sekelilingnya. Republik sudah lama lahir, tetapi belajar berdemokrasi belum lama,” tuturnya.

Menurut Indria, tak munculnya konsolidasi demokrasi terlihat dalam upaya menata sistem politik melalui peraturan perundang-undangan. ”Undang-undang berlaku hanya sekali pemilu. Sekali pakai buang. Kalau berpikir positif, ini wajar saja. Kita tak punya pengalaman berdemokrasi sejak 21 Mei 1998. Setelah 1998, demokrasi sangat liberal. Jumlah peserta pemilu bertambah, tetapi mau dibawa ke mana masih belum tahu,” lanjut dia.

Alih-alih menyederhanakan sistem kepartaian dengan UU yang dibuatnya, DPR malah selalu terjebak pada ketidakjelasan sistem kepartaian itu sendiri.

Indria mengatakan, seharusnya kalau semangatnya ingin menyederhanakan partai politik, UU yang dibuat harus secara jelas mengatur fungsi partai. ”Semestinya pengaturan partai jangan lagi pada ideologinya, tetapi fungsinya. Dituliskan sejak awal hanya ada dua fungsi partai, yaitu sebagai ruling party (partai berkuasa) atau oposisi. Jadi, kalaupun ada banyak partai, nantinya cuma mengelompok pada dua partai saja,” ujarnya.

Mantan Ketua Panitia Khusus DPR terkait Rancangan UU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan mengakui, perbaikan paket UU politik seperti cerita yang tidak pernah habis. Saat ini sudah terjadi pengaturan yang berlebihan. ”Yang harus diperbaiki dalam sistem kepartaian kita seharusnya hanya ada dua saja, audit dana partai dan fungsi partai. Ini malah ada pengaturan soal syarat 100 persen kepengurusan di tingkat provinsi. Kalau 100 persen, bukan syarat lagi,” katanya.

Paket UU politik, lanjut Ferry, seharusnya juga berangkat dari evaluasi pemilu. ”Tetapi, kita tak memulainya dari evaluasi pemilu. Padahal, pemilu kita sangat rumit, berkepanjangan, dan mahal. Ini yang harus dijawab. Pemenang pemilu saja lebih banyak diputuskan di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. (bil)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com