Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marhaen dan Kesenjangan

Kompas.com - 28/03/2011, 05:26 WIB
Oleh Tata Mustasya

Nasib Marhaen petani yang berdialog dengan Soekarno di kawasan Bandung Selatan 1920-an berulang dan sedang dialami jutaan warga.

Berada di sektor informal terutama pertanian, nyaris tak punya aset, bekerja keras tetapi hasilnya hanya memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya.

Diilhami dialog di atas, Soekarno secara kontekstual menggambarkan Marhaen sebagai kelompok terpinggirkan khas Indonesia yang relevan hingga kini. Dia tak spesifik mengacu kelas tertentu, seperti kelas buruh di Eropa. Marhaen mencakup petani kecil dan petani penggarap, pekerja rendahan, dan pedagang kecil. Dalam banyak hal, kelompok Marhaen banyak beririsan dengan kelompok miskin dan nyaris miskin (near poor).

Jika memakai standar pendapatan 2 dollar AS per hari, jumlah Marhaen bisa sekitar 100 juta orang. Dalam konteks demokrasi, kaum ini semestinya memegang peranan elektoral penting. Di permukaan hal itu benar, atau seolah-olah benar. Soeharto, misalnya, mulai memiliki kepercayaan diri tinggi akhir 1960-an setelah berkeliling Jawa untuk melihat keadaan di pedesaan dan berdialog dengan petani langsung. Dia menyimpulkan—dan benar—petani di desa merasa keadaan lebih baik.

Beberapa program karitatif SBY, seperti Bantuan Langsung Tunai, juga berusaha meraih simpati kelompok Marhaen. Dodi Ambardi (2009) mengungkapkan, parpol banyak menyuarakan populisme, tetapi sebetulnya ”satu suara” sebagai elite memperjuangkan kepentingan pribadi. Saat ini kita sulit melihat adanya keberpihakan yang programatik dan berdampak panjang bagi orang-orang seperti Marhaen.

Ada beberapa penyebab. Pertama, akses informasi kelompok ini sangat minim. Manipulasi elite dapat dilakukan dengan mudah. Proyek karitatif yang murah, misalnya, lebih visibel bagi kelompok ini dibandingkan kebijakan programatik. Kedua, karena beragamnya latar belakang kelompok Marhaen, sulit bagi mereka untuk mengorganisasikan diri menyuarakan aspirasi. Beberapa pendekatan seperti organisasi petani atau masyarakat miskin kota belum efektif.

Ketiga, elite politik pengambil kebijakan terikat kepentingan masing-masing, terutama karena mereka belum mampu menggalang dana dari masyarakat luas. Ambardi menyebutkan ketergantungan elite politik pada dana nonbudgeter. Kebijakan pun jadi bias dan mengabdi pada tujuan itu.

Mengatasi kesenjangan

Meski posisi kelompok Marhaen untuk menyuarakan aspirasi kolektif lemah, penurunan kesenjangan dan perbaikan kesejahteraan mereka mesti dilakukan secara proaktif oleh pengambil kebijakan, bukan sekadar sampingan dari pencapaian target makroekonomi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com