Apalah arti Darsem bagi mereka? Bagi Ketua DPR Marzuki Alie,
kasus Darsem cuma mencoreng citra bangsa. Bahkan, menurut anggota partai yang sedang berkuasa ini, wajar saja mereka mengalami kekerasan karena kebodohannya. Sebuah pernyataan yang sejatinya mencoreng martabat sendiri sebagai wakil rakyat yang (seharusnya) terhormat.
Saya juga tak yakin apakah Presiden Yudhoyono—yang hari-hari ini terlihat lelah dan lebih menonjolkan diri sebagai pemimpin koalisi ketimbang pemimpin rakyat—mendalami kasus ini. Presiden tampaknya tak ada waktu untuk mengurusi rakyat kecil seperti Darsem. Menghadapi persoalan buruh migran, pemerintah sering hanya berkilah,
kasus seperti ini tak lebih dari 1 persen jumlah buruh migran Indonesia. Padahal, menilai kasus hanya dengan data statistik menunjukkan, nyawa buruh migran yang punya martabat dan keluarga telah direduksi menjadi angka yang tak bisa ditanya siapa namanya dan apa masalahnya.
Dalam kasus Darsem, publik sempat dikecoh oleh informasi menyesatkan bahwa yang bisa menyelamatkan Darsem dari hukuman mati hanya pembayaran kompensasi pemberian maaf (diat) sebesar 2 juta riyal atau setara dengan Rp 4,7 miliar. Lebih parah lagi, negara terlihat enggan menutup pembayaran kompensasi itu dengan uang negara.
Dengan berulang kali menyebut ada donatur dari Arab Saudi yang membantu meringankan beban Darsem, negara merasa diringankan tanggung jawabnya. Bahkan, Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia sempat melontarkan ide menggelar malam dana untuk mengumpulkan sumbangan biaya kompensasi pembebasan Darsem (Kompas, 7/3). Sebegitu tak berhargakah nyawa buruh migran kita?
Hiruk pikuk soal diat Rp 4,7 miliar ini membuat pemerintah abai dengan tugas utama, yaitu melakukan upaya hukum pada peradilan tingkat berikutnya untuk membebaskan Darsem.