Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahmadiyah, Sejak Datang Sudah Ditentang

Kompas.com - 15/02/2011, 05:32 WIB

Kisah Maulana Rahmat Ali

Dalam bukunya, "Gerakan Ahmadiyah di Indonesia", Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain meencatat, Sumatra Barat merupakan pusat aktivitas penyebaran Ahmadiyah Qadian sebelum berkembang ke Jawa, meski sebenarnya benih pertama Ahmadiyah pertama ditebar di Tapaktuan, Aceh, pada 1925.

Semasa penjajahan, Sumatra Barat berstatus sebagai Karesidenan, Residentie Sumatra's Westkust. Daerah ini dulu sudah termasuk daerah yang cukup penting karena letaknya yang strategis, di mana pantai sebelah Barat Sumatra bagian tengah menjadi daerah penghubung ujung utra dan ujung selatan Sumatra. Daerah pesisirnya (padang laut) menempati posisi strategis sebagai pintu gerbang masuknya segala sesuatu, baik yang bersifat materi maupun ideologi. Itu karena di sana tempo dulu terdapat pelabuhan dagang yang ramai, seperti Air Bengis, Sasah, Pariaman, Painan, Kambang dan Air Haji.

Pada masa itu, Indonesia memang banyak didatangi oleh para" pembaharu" Islam. Dalam situasi keagamaan seperti itulah Ahmadiyah yang datang dari India turut mewarnai gerakan keagamaan di Indonesia.

Pada tahun 1926, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang. Dalam catatan sejarah, di kota ini, atas petunjuk Abdul Azis Shareef yang saat itu belajar di Qadian; Maulana Rahmat Ali tinggal di rumah Daud Bonggo Dirajo yang terletak di Pasarmiskin.

Setibanya di Padang, Rahmat Ali mulai melakukan tabligh seperti pada waktu ia tiba di Tapaktuan hingga ke daerah Padang Panjang dan Bukit Tinggi. Namun tabligh Rahmat rupanya mendapat penentangan dari ulama setempat. Akhirnya berdiri sebuah komite yang bernama "KOmite Mencari Hak" yang dipimpin oleh Tahar Sutan Marajo. Tujuannya untuk mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau.

Itu terjadi pada permulaan tahun 1926. Akan tetapi, penyelenggaraan debat tidak jadi dilaksanakan karena pihak alim ulama tidak datang kecuali hanya murid-muridnya saja sehingga para anggota komite merasa kecewa.

Reaksi lain, masih di tahun yang sama (1926), ayah Hamka, DR, H Abdul Karim Amrullah, mengecam keras paham Ahmadiyah yang dibawa Rahmat Ali dan menganggap bahwa kaum Ahmadiyah berada di luar Islam. Bahkan lebih tegas lagi, dianggap sebagai kafir. Kecaman tersebut dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Al Qaul ash-Shahih. Namun hal itu tidak menghambat perkembangan jemaat Ahmadiyah di Padang. Anggota Ahmadiyah pada awal berdirinya berjumlah 15 orang. Mereka antara lain, Mohammad Taher Sutan Marajo, Daud Gelar Bongso Marajo, dan lain-lain.

Dengan demikian, Maulana Rahmat Ali boleh disebut sebagai pembawa paham Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bersama pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di Qadian. Oleh karena itu, Maulana Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema'at Ahmadiyah Indonesia.

Setelah berdiri sebagai organisasi di tahun 1929, Maulana Rahmat Ali beserta para pengikutnya kerap mendapat ejekan. Bunyi ejekan yang dilontarkan adalah, "Lore! Lore! Lore!" Sebutan ini berasal dari nama kota Lahore. Rahmat Ali disoraki dengan kata-kata Dajjal, tukang sihir, dan pembawa nabi baru. Meski demikian, Iskandar mencatat, Maulana Rahmat Ali tetap melakukan tabligh ke daerah lain, seperti Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa daerah lainnya. Dia dibantu oleh M Haji Mahmud yang saat itu baru kembali dari Qadian.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com