Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sejarah Saya Memang Parah"

Kompas.com - 04/12/2010, 02:43 WIB

Kalau Jakarta pusat diplomasi pasca-kemerdekaan oleh pemerintahan Sutan Syahrir, Yogyakarta—dan Jawa Tengah—seumur-umur pusat perjuangan senjata perang gerilya lawan Jepang dan Belanda. Itu sebabnya TNI, yang dibentuk Panglima Besar Sudirman, lahir di sana.

Tak heran ”Serangan Umum” yang diprakarsai Hamengku Buwono IX selama enam jam di Yogyakarta ikut mendukung upaya pengakuan kedaulatan wilayah di mata dunia. Jangankan berjuang, Hamengku Buwono IX bahkan merelakan sebagian tanah untuk Universitas Gadjah Mada.

Kesetiaan Yogyakarta (baca: daerah/provinsi) selama era perjuangan patut diketengahkan kembali. Loyalitas itu relevan dikaji terus karena problem pelik yang belum selesai sejak dulu sampai kini berkaitan dengan pembangkangan daerah.

Awal pembangkangan terhadap NKRI dimulai 1949 setelah Belanda menerima kemerdekaan tahun 1949 versi Konferensi Meja Bundar (KMB). Den Haag menerima KMB sekalipun menolak klaim kita atas Papua Barat.

Per 27 Desember 1949 Indonesia jadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas 16 negara kecil yang terpecah, termasuk RI (Republik Indonesia). Jumlah ini peningkatan dua kali lipat dibandingkan setelah proklamasi.

RIS tak tahan lama karena menimbulkan kekecewaan negara yang tergabung di dalamnya. Kekecewaan itu sebagian besar bersumber dari kegagalan sistem demokrasi parlementer.

Rakyat lelah menyaksikan kabinet jatuh-bangun cuma karena soal sepele. Kalau didominasi pimpinan partai/tokoh kurang kompeten, kabinet kurang efektif karena sering trial and error.

RIS dibubarkan 17 Agustus 1950 dan Pemerintah RI kembali lagi ke konstitusi UUD 1945 dan dipimpin Soekarno-Hatta. Selesaikah pembangkangan daerah? Ternyata belum.

Sejarah membuktikan pembangkangan pasca-RIS lebih kerap terjadi, sebagian bahkan berubah jadi pemberontakan. Salah satu faktor penyebab praktik politik devide et impera Belanda yang masih ingin bercokol.

Mereka memanfaatkan kelompok/pemimpin daerah sebagai kepanjangan tangan. Mereka, misalnya, melancarkan provokasi di Bandung melalui Kapten Raymond Westerling yang memperalat sejumlah tokoh lokal Jabar. Pembangkangan/pemberontakan satu dasawarsa setelah merdeka itu menimbulkan ketegangan pusat-daerah hingga kini. Salah satu penyebab, kultur kekuasaan yang konservatif, sentralistis, dan feodalistis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com