Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Mana Monarki Itu?

Kompas.com - 03/12/2010, 03:13 WIB

Seperti Aceh yang begitu istimewa karena sumbangan jiwa dan material, emas rakyat yang antara lain dipakai untuk membeli pesawat negara Seulawah, Yogya pun tidak hanya memfasilitasi seluruh kebutuhan ibu kota pengasingan dari republik yang terusir, mengambil risiko tinggi keamanan rakyatnya, mengeluarkan tak kurang 5 juta gulden dari simpanan keraton.

Saat Mohammad Hatta bertanya apakah republik harus membayar utang itu, Sultan tak berkata apa-apa dan tak menagihnya, hingga ia tutup mata, hingga kekuasaan diwarisi anaknya. Politik nasional yang kemudian berkembang bukan hanya jadi reduksi atau penggerogotan sistematik dari keluhuran dan kearifan politik di atas, tetapi juga jadi semacam kealpaan historik yang membuat politik nasional tamak dan bebal dalam apresiasi batinnya.

Ia terasa sistematik lantaran hal itu terjadi berulang kali, sejak Soeharto mendirikan tetenger (tanda) dari Serangan Oemoem 1 Maret 1949, di mana ia menempatkan diri sebagai tokoh utama, menafikan peran Sultan yang justru jadi penggagas, pemberi perintah dan fasilitator dari serangan bersejarah itu.

Kenegarawanan lokalnya terasa melampaui kepemimpinan nasional saat ia tak mencegah pendirian tetenger itu, dan hanya menukas pendek, ”Biarlah jika ia menginginkan begitu”, saat Arifin C Noer, sutradara film Janur Kuning, memintanya mau menerima adegan di mana Soeharto duduk di kursi berlengan dua bersamanya. Faktanya, hanya Sultan yang duduk di kursi berlengan dua, dan Soeharto di bangku tanpa lengan.

Mananya yang monarkis dari kepemimpinan yang ditunjukkan HB IX yang rela menghentikan mobilnya bagi seorang wanita pedagang beras pasar Kranggan, membantunya menaikturunkan barang dagangan, mengantarnya, dan dimarahi sang pedagang karena dianggap minta bayaran lebih dari satu perak ketika Sultan menolak pemberian itu?

Mana yang monarkis dari Sultan yang biasa mengendarai sendiri mobilnya, tanpa pengawal, hingga ia ditilang polisi di Cirebon dalam perjalanan Yogya-Jakarta, hanya karena ia bertelanjang dada akibat udara panas? Pemimpin dengan singgasana sesungguhnya tidak di kemegahan istana, tapi di kerendahan jiwa publik yang mendukung dan harus ia bela. Dengan semua yang dimilikinya.

Radhar Panca Dahana Budayawan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com