Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahasyim, Kartini, dan Korupsi

Kompas.com - 02/11/2010, 02:51 WIB

Demikianlah negeri ini menangkapi para koruptor, baik karena memperkaya diri sendiri maupun memperkaya orang lain. Yang satu pemeras, yang satu lagi membiarkan diri diperas. Memang yang kedua masih lebih banyak mengena para pejabat publik yang menghambur-hamburkan uang negara seperti uangnya sendiri. Tetapi, keduanya sama-sama merugikan negara dan turut mempertahankan budaya korup yang ingin kita berantas.

Saya teringat suatu sore, seorang sopir truk pengangkut tanah yang kami sewa—di yayasan yang saya kelola—tak berani pulang karena STNK dan SIM-nya ditahan petugas polantas. Ia duduk termenung di kursi kemudi, sementara sopir-sopir yang lain sudah beranjak pulang. Sewaktu saya tanya, ia menjawab, ”Saya salah karena membuat jalan macet. Tetapi, bapak polisi itu diajak damai dengan seratus ribu rupiah tidak mau. Dia minta sejuta dan saya tidak punya. Ia lalu mengambil surat-surat mobil saya.”

Apa yang mau bapak sopir lakukan?

”Saya tak punya uang. Boleh saya pinjam sama Bapak?” ujarnya mengiba,

Ia terlihat takut, tapi rela diperas. Tahu berbuat salah, tetapi posisinya lemah.

Malam itu, saya mencari tahu siapa polisi yang mengambil surat-surat sopir tadi. Sayangnya tak ada selembar surat pun yang ditinggalkan. Saya lalu menelepon polsek dalam wilayah kami. Petugas jaga yang baik hati mengenal surat-surat yang dimaksud, tapi polisi yang menahan sudah pulang.

Saya katakan, saya minta malam ini dikembalikan atau saya menelepon pimpinan mereka. Ia meminta waktu sejenak. Lima menit kemudian saya diberitahu surat-surat sudah ada dan besok pagi siap diantarkan. Saya kembali menegaskan, polisi melanggar hukum dan saya minta malam ini juga agar sopir bisa mengambilnya. Ia pun menyerah.

Esoknya terjadi obrolan menarik di antara para sopir. ”Diajak damai lima puluh ribu enggak mau, seratus ribu ditolak. Eh, akhirnya malah cuma dapat kartu nama,” ujar mereka terkekeh-kekeh.

Malam itu saya memang hanya memberi sopir truk sepotong surat yang saya tulis di belakang kartu nama. Saya menulis dengan penuh rasa dongkol dan kasihan terhadap rakyat kecil yang lusuh dan sulit mencari makan, lemah, dan buta hukum, tapi justru jadi sasaran pemerasan.

Adalah tugas kita melindungi sahabat-sahabat yang lemah. Namun, sebuah tanda tanya besar tetap muncul di pikiran saya. Mengapa Kartini Mulyadi, seorang ahli hukum, notaris terkenal, dan terbilang sukses menjadi usahawan besar, dikenal tegas, rela diperas atau membayar demi bebas dari kasus yang dihadapinya?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com