AGUSTINUS HANDOKO
Sebelum tahun 1979, kana masih bisa disaksikan dalam berbagai acara adat seperti pernikahan dan pesta panen. Akan tetapi, setelah masa itu nyaris tak ada pengana, seniman kana, yang menyampaikan kebajikan hidup dalam acara adat melalui kana.
Tradisi lisan yang dianut masyarakat Dayak menyebabkan syair kana tak bisa dipelajari generasi penerus sehingga tidak terjadi proses alih generasi pengana. Apalagi, sastra dalam bahasa Dayak Mualang termasuk seni bertutur yang sulit dan tak setiap orang bisa menguasainya.
Kana dibawakan seperti layaknya orang menyanyi, dengan nada-nada yang cenderung resitatif atau diulang-ulang dan cengkok khas nyanyian Dayak.
Di sini Elias Ngiuk tekun mengumpulkan bahan lisan dari para pengana dan mempelajari satu-satunya sumber pustaka yang dibuat Pater Donatus Dunselman tahun 1955. Kini ia bisa meneruskan tradisi bekana, menyanyikan prosa liris bait-bait kana.
”Saat kecil, saya masih bisa melihat tradisi bekana dalam acara-acara adat. Audiens yang mendengarkan lantunan kana kadang kala menyahut syair, untuk memberi semangat kepada pengana agar terus bertutur,” kata Ngiuk.
Setelah beberapa dekade tak pernah melihat kana dalam acara adat, Ngiuk tergerak mencarinya. ”Saya berniat menggali tradisi itu supaya tidak hilang,” katanya.
Bekana adalah tradisi melantunkan bait-bait kana dalam acara adat. Kana menuturkan kebajikan hidup leluhur Dayak Mualang dalam hidup bermasyarakat, berinteraksi dengan alam, dan bertingkah laku sehari-hari. Kana juga menampilkan kisah kepahlawanan para tokoh di Pangau, negeri angan-angan masyarakat Dayak Mualang yang tenteram.
Tradisi bekana, dulu, menjadi salah satu ciri khas masyarakat Dayak Mualang yang berkembang di sejumlah wilayah di Kabupaten Sekadau, Kalbar, seperti Kecamatan Belitang Hilir, Belitang Hulu, dan Belitang Tengah.