Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kritik Publik Tak Buat DPR Tergelitik

Kompas.com - 25/10/2010, 07:58 WIB

KOMPAS.com — Suara sumbang terus dilayangkan atas kegiatan studi banding sejumlah komisi dan alat kelengkapan DPR ke luar negeri. Dalam sebulan terakhir, Komisi X, Komisi VIII dan Badan Kehormatan melakukan lawatan ke sejumlah negara.

Komisi X belajar pramuka di Afrika Selatan, Komisi VIII memilih Amerika Serikat untuk mempelajari berbagai hal terkait toleransi dan kesejahteraan. Dalam waktu dekat. Komisi XI juga akan mengunjungi 4 negara, yaitu Inggris, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang, dalam rangka menyelesaikan RUU Otoritas Jasa Keuangan. Terakhir, BK DPR belajar etika ke Yunani.

Bahkan, sebelum bertolak ke Yunani, rombongan diprotes dengan aksi kelompok masyarakat yang dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Namun, derasnya aliran kritik, tetap tak membuat DPR tergelitik. Padahal, komentar masyarakat dan pengamat parlemen sangat pedas. Tetapi, para wakil rakyat tetap berkemas dan bergegas, melakukan perjalanan yang mereka sebut sebagai kunjungan kerja.

“Drpd studi banding ke LN dg hasil mubazir, mendingan DPR nyewa dosen2 privat dr dalam negeri aja... gw yakin, banyak dosen yg mau dg anggaran milyaran segitu... kalo cm mw blajar hal2 ekonomi dan politik scr teori dan praktek, BOHONG BESAR kalo cm bisa lwt visual... belajar OJK sampe ke UK?... baca paper2 IMF, World Bank, FSB aja gak mungkin kelar mrk baca dlm 2 tahun... anak TK kok sudah sok2an mw studi banding... bikin ngakak aja nih anggota Dewan...,” demikian salah satu komentar yang dituliskan pembaca Kompas.com yang dikutip tanpa diedit, Sabtu (23/10/2010).

Pengamat parlemen dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang mengatakan, anggota Dewan telah kehilangan sensitivitasnya dan tak bisa menentukan skala prioritas. “Setiap kali ada studi banding ke luar, masyarakat marah. Anehnya, tidak ada respons dari DPR untuk membenahi diri. DPR semestinya mampu menangkap apa pesan yang disampaikan publik. Tolong lihat kondisi rakyat yang diwakilinya. Mending anggaran untuk program menyejahterakan rakyat daripada jalan-jalan ke luar negeri,” ujar Sebastian dalam sebuah diskusi, akhir pekan lalu.

Menurut dia, kritik dan protes keras publik bukan tanpa alasan. Kunjungan kerja ke luar negeri selama ini dianggap tak membawa manfaat maksimal bagi pembentukan kebijakan dan regulasi di Tanah Air. Apalagi, kata Sebastian, anggota DPR juga disoroti dalam keseriusannya melakukan pembahasan UU, yang dijadikan alasan kunjungan ke sejumlah negara.

“Pada periode lalu, DPR studi banding ke Eropa soal jalan raya, kemacetan. Tapi apa hasilnya? Jakarta juga semakin macet. Kita tidak melihat apa hasil yang mereka bawa dari sana dan bisa kita implementasikan. Artinya, studi banding tidak membawa efek apa pun untuk membawa perubahan yang baik disini,” kata Sebastian.

Mekanisme dan metode studi banding yang berangkat secara “berbondong-bondong” juga dinilai tak efektif. Dalam setiap kunjungan, satu komisi bisa membawa anggota hingga belasan orang, ditambah dengan sejumlah staf sekjen. Selain membuat anggaran semakin besar, cara ini juga dianggap tak efektif.

Ia menyarankan, agar DPR mengubah metode studi banding dengan mengirimkan beberapa staf ahli untuk mempelajari berbagai hal yang dibutuhkan sebagai masukan untuk menggodok sebuah undang-undang. Menurut dia, cara ini akan lebih efektif dan staf ahli dinilai bisa lebih fokus mengumpulkan berbagai informasi. Anggaran Dari sisi anggaran, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, ada tren kenaikan untuk pos anggaran kunjungan kerja ke luar negeri setiap tahunnya. Tahun 2008, anggaran sebesar Rp 71,2 miliar naik menjadi Rp 78,6 miliar pada 2009. Sedangkan pada 2010, anggaran naik dua kali lipat menjadi Rp 170 miliar.

“Kunjungan anggota DPR naik sebesar Rp 48 miliar dalam APBN Perubahaan 2010. Padahal, APBN 2010, kunjungan plesiran ke luar negeri hanya sebanyak Rp 122 miliar. Jadi, total APBN 2010 untuk kunjungan plesiran ke luar negeri anggota DPR sebesar Rp 170 miliar,” kata Sekretaris Jenderal Fitra Yuna Farhan.

Dalam setiap kunjungan, anggota DPR setidaknya mendapatkan uang harian, uang representasi dan asuransi, yang besarnya bervariasi, bergantung pada negara yang dituju. Menurut data yang diperoleh Fitra, pada kunjungan kerja ke Yunani, setiap anggota mendapatkan uang harian sebesar 418 dollar AS per hari (sekitar Rp 3.731.500). Yuna  mendesak, agar DPR berpikir ulang dan membatalkan sejumlah agenda kunjungan kerja luar negeri yang, menurut dia, akan semakin marak menjelang akhir tahun ini. “Kunjungan kerja ini hanya bagi-bagi jatah,” ujarnya.

Menanggapi berbagai kritik, beberapa hari lalu, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, studi banding ke luar negeri tak selamanya buruk. Yang terpenting, sebelum melakukan studi banding, anggota DPR harus memiliki tujuan yang jelas dan menyosialisasikannya kepada publik. Kenyataannya, informasi dan agenda studi banding kerap sulit untuk didapatkan. Alih-alih menyampaikan hasilnya ke publik seusai kunjungan.

Wakil Ketua BK DPR Nudirman Munir, terkait lawatan lembaganya ke Yunani, meminta masyarakat tidak berasumsi negatif terhadap kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri. Ia mengatakan, kunjungan ke luar negeri dibutuhkan agar tak menjadi “katak dalam tempurung”. Belajar etika hingga ke Yunani, menurut Nudirman, akan memberikan gambaran tentang praktik keparlemenen di negara lain.

“Misalnya, tentang anggota yang merokok. Kami akan lihat bagaimana dunia mengatur anggota parlemen yang merokok. Kemudian soal pakaian, kalau kita kan diatur, bagaimana di negara orang. Soal cara ngomong juga, bagaimana. Apakah cukup dengan mengangkat tangan, kemudian bicara, atau seperti apa," kata Nudirman, Selasa (19/10/2010).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Nasional
    Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

    Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

    Nasional
    Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

    Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

    Nasional
    Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

    Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

    Nasional
    Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

    Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

    Nasional
    Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

    Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

    Nasional
    Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

    Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

    Nasional
    Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

    Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

    Nasional
    Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

    Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

    Nasional
    Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

    Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

    Nasional
    'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

    "Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

    Nasional
    Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

    Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

    Nasional
    Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

    Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

    Nasional
    Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

    Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

    Nasional
    Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

    Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com