Siapa pelaku teror itu sesungguhnya? Pada awal abad ke-20, terorisme merujuk pada pengeboman yang dilakukan kaum anarki di Rusia, Perancis, dan Spanyol. Perbuatan teror adalah pernyataan membangkang terhadap kemapanan. Sementara pada awal abad ke-21, terorisme menjadi konsep politik yang merujuk pada tiga fenomena utama (Negri, 2004). Pertama, terorisme sebagai pembangkangan terhadap pemerintahan yang sah. Kedua, aksentuasi kekerasan politik oleh negara terhadap warganya (penggusuran, misalnya). Ketiga, penggunaan kekuatan yang menyalahi rules of engagement, misalnya penyerangan terhadap warga sipil.
Terlepas kesulitan yang muncul dari tiga definisi di atas, terorisme sejatinya adalah strategi politik. Kita sering mengartikan pelaku teror sebagai pelanggar hukum atau pelaku kriminal. Padahal, kedua konsep tersebut berbeda 180 derajat. Pelaku kriminal tidak memiliki tujuan politik apa pun, sementara pelaku teror memiliki tujuan politik yang jelas, misalnya mengganti dasar negara. Tujuan politik tersebut adalah idealitas absolut yang melumpuhkan rasa bersalah dan memompa militansi. Berharap pelaku teror bertobat di lembaga pemasyarakatan konvensional adalah kenaifan yang berbahaya.
Saya berpendapat bahwa pelaku teror sama statusnya dengan pasukan asing yang mengancam kedaulatan Republik. Pasukan asing memasuki teritori atau kedaulatan fisik sebuah negara, sementara pelaku teror mengancam teritori atau kedaulatan nonfisik negara berupa ideologi atau dasar negara. Ancaman pelaku teror terhadap dasar negara sebuah republik sudah lebih dari cukup untuk meletakan mereka dalam kategori ”kombatan” sehingga kebingungan institusional antara kepolisian dan TNI tidak perlu terjadi. TNI, menurut hemat saya, dapat menggunakan segenap infrastruktur dan sumber daya yang ada untuk membantu kepolisian memerangi terorisme.
Pemahaman baru tentang terorisme menuntut sebuah kebijakan yang terukur dari lembaga-lembaga negara. Eksekutif dan legislatif perlu duduk bersama memikirkan payung hukum yang memungkinkan peran militer dalam perang melawan terorisme. Persoalan hak asasi manusia (HAM) dapat dibicarakan dan dinegosiasikan. Sebab, dalam kedaruratan permanen seperti ini, keberlakuan HAM tidak seuniversal seperti di masa normal. Setelah itu, alokasi anggaran yang memadai perlu ditetapkan guna menopang TNI dan kepolisian dalam menjalankan peran tersebut. Tanpa itu semua, perang melawan terorisme hanya akan berupa instruksi melawan terorisme belaka.